PAGI hari yang tampak
mendung. Brian terlihat sudah hilir-mudik di koridor lantai 2 kampus B. Dia
telah mematangkan rencana untuk melakukan riset fakultas yang diprakarsai oleh
Pak Baroto selaku dekan fakultas. Bre terlihat sangat sibuk dengan beragam aktivitasnya.
Wajah ganteng itu terlihat dipenuhi oleh berbagai persoalan hidup yang Bre
alami. Tidak ada seorang pun yang tahu. Bre terlihat sesekali menengokkan
kepala ke belakang. Dia takut bertemu Karen yang kemarin mengajak Bre ke
Lembang tapi tak diacuhkannya. Disaat pikirannya suntuk berat, Karen malah
membuatnya semakin terhimpit tak bisa bergerak melawan kenyataan.
“Bre!!!” terdengar teriakan keras dari
arah belakang.
Bre menengokkan kepalanya dan mendapati
Karen sedang berjalan ke arahnya dengan mimik wajah yang galak.
“Kemana aja sih lu? Kenapa ga ngasih kabar
ke gue kalo ga mau gue ajak ke Lembang, hah?!” tanya Karen dengan mata melotot
ke arah Bre yang tampak pasrah.
“Maaf Karen, bukannya gue ga mau. Tapi
untuk saat ini gue masih banyak pikiran. Soal riset fakultas, mata kuliah yang
ga lulus-lulus, biaya kuliah yang akan di-stop
ortu kalo ga segera lulus, bikin otak gue buntu,” terang Bre berkeluh-kesah.
“Alesan doang lu. Emang hubungan kita ga
penting apa? Gue cuma mau lu ketemu bokap-nyokap gue aja kok untuk biar
hubungan kita terlihat lebih serius!” ucap karen ngotot.
Duuch.. Ni bocah kok ga ngerti-ngerti juga
sih?
“Jangan menghindar terus lu...”
“Kapan gue menghindar dari elu??” tanya
Bre dengan kening berkerut.
“Ayolah kita bicarakan dulu.”
“Soal apa?”
“Ya soal kita dong, masak soal ujian
semester? Gimana siih??!” kata Karen jengkel.
“Maaf Karen, gue belum bisa. Gue pengen
istirahat dulu. Ya udah gue balik ke kos, ntar siang mo menghadap dosen. Lu met
kuliah aja, daag....!!”
Bre meninggalkan Karen yang masih aja
terbengong ketika Bre mulai beranjak pergi.
“Hmm.. Bre kok jadi aneh gini yaa?
Jangan-jangan dia punya cewek lagi. Gue harus cari tahu siapa gerangan cewek
itu,” gumam Karen mengambil kesimpulan sepihak.
***
Bre terlihat termangu di dalam kamar kost,
tapi otaknya berpikir. Otak kanan dan otak kirinya saling bersinergi dan meramu
formula terbaik untuk menghasilkan solusi pemecahan masalah yang sedang
dihadapinya. Matanya menerawang ke arah langit-langit kamar—dengan sorot mata
serius—mencoba mengejawantahkan dari apa yang sedang dipikirkannya.
“Hmm.. Gue memang harus menemui dosen gila
itu. Meminta penjelasannya secara langsung, kenapa gue ga lulus-lulus terhadap
mata kuliah yang diampunya. Kalo ntar jawabannya masuk akal dan bisa diterima,
oke ga papa. Tapi kalo jawabannya memang terkesan akan menjegal langkah dan
cita-cita gue untuk menjadi sarjana, jangan tanya apa yang akan terjadi..,”
gumam Bre tampak geram. “Setelah menemuinya, gue main aja ke tempat Karebet
yang beralamat di Sidomukti, siapa tau Karebet ngerti soal keberadaan cewek
cantik berbaju merah tempo hari. Yaah tepat sekali!! cewek itu kemarin memang
berjalan memasuki kampung Sidomukti. Hmm.. Siip lah, begitu aja. Dari pada ntar Karen
tiba-tiba nongol di sini ngebahas married,
bisa rontok neh rambut dreadlock
gue...,” ujar Bre dalam hati.
Bre sudah memantapkan hati untuk menemui
Ibu Carissa, pengampu mata kuliah Ilmu Fa’al yang selama ini menjadi momok
paling menakutkan bagi kehidupan perkuliahannya. Sekarang Bre terlihat rapi
dengan kemeja hitam dan celana jeans yang juga warna hitam, dipadu dengan
sepatu warna putih. Walaupun penampilan Bre tetep terlihat flamboyan, tetapi
dadanya berdegup kencang. Titik-titik keringat mulai tampak membasahi keningnya
ketika langkah kaki Bre sudah mendekati pintu ruangan Ibu Carissa, The Killer Lecturer. Bre terlihat bagai domba memasuki kandang singa.
.”Tok.. Took.. Tok..” Sesaat tidak ada
sahutan dari dalam ruangan. Hening dan mencekam. semenit, dua menit, tiga menit
berlalu. Baru di menit ke empat, terdengar suara lembut dari dari dalam
ruangan.
“Masuk.”
Degup jantung cowok aktivis kampus semakin
cepat, ketika melangkahkan kakinya memasuki ruangan Ibu Carissa yang tampak
terasa mengerikan—seperti dunia lain—bagi Bre.
“Selamat siang Bu...,” sapa Bre dengan
ramah.
Ibu Carissa menatap wajah Bre sejenak
dengan sorot mata dingin. Suasana menjadi kaku. Kemudian sang Dosen tampak
sibuk lagi dengan berkas-berkas yang berserakan di meja. Mungkin sedang
mengoreksi lembar jawaban kuis dari para anak didiknya. Sesekali tangan
berkulit putih dengan jari yang lentik mengetuk-ketukkan bollpoint yang terselip di antara jemarinya, sebelum kembali menggoreskan
tintanya di atas berkas. Ibu Carissa seperti tidak menganggap kehadiran Bre
sama sekali. Dia masih saja asyik berkubang ke dalam berkas-berkas yang berserakan
di atas meja kerjanya.
Bre menghela nafas dalam-dalam melihat
kelakuan Ibu Carissa. Seakan memanfaatkan waktu lenggang daripada terbuang
sia-sia, Bre pun menatap wajah sang Dosen. Hmm.. Sebenarnya wajah Ibu Carissa sangatlah sedap
dipandang mata. Berkulit kuning langsat yang tampak mulus berpadu dengan wajah
jelita. Rambut hitam legam yang panjang disanggul modern keatas kepala, seperti
pramugari pesawat terbang. Kacamata dengan frame ungu terang bertengger indah di
atas hidung mancung, seakan melindungi sepasang mata bolanya yang terlihat
jernih dari debu nakal yang tertiup angin. Bulu alis yang dibentuk sesuai
dengan kelopak matanya terlihat sangat menawan, berpadu-padan dengan bulu mata
yang lentik. Bibirnya tipis memerah pucat dengan sapuan tipis lipstik. Lehernya
berhias kalung yang berliontin huruf C, yang merupakan inisial dari Carissa. Kemeja
yang sudah tak berblazer itu membungkus ketat tubuh Ibu Carissa yang memang
tergolong cukup tinggi dan semampai diantara para mahasiswi dan dosen wanita di
kampus itu. Wow!!
Tapi sayang, semua keindahan yang menempel
dalam diri sang Dosen tampak menguap begitu saja, sia-sia. Disebabkan oleh
sikap Ibu Carissa sendiri yang begitu dingin dalam bersosialisasi. Apa karena
beliau berasal dari keluarga yang sangat berada alias kaya, sehingga membatasi
pergaulannya dengan lingkungan sekitar. Tak ada yang tahu.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Ibu
Carissa tanpa menolehkan wajah ke arah Bre yang dari tadi tetap berdiri
mematung dihadapannya.
Bre tercekat mendengar pertanyaan Ibu
Carissa yang terdengar mengagetkan dirinya yang sedang asyik menilai, menaksir,
dan menganalisis kecantikan sang Dosen. Belum sempat Bre menjawab pertanyaan
Ibu dosen karena masih dihinggapi rasa terkejut, terdengar lagi suara datar
terucap dari bibir tipis itu.”Silahkan duduk!” masih sama, tanpa menolehkan
wajah ke arah Bre.
“Terima kasih,” jawab Bre singkat seraya
mendaratkan pantatnya di atas kursi, berhadapan dengan Ibu Carissa yang duduk
dihadapannya diseberang meja.
“Eemm, begini Bu. Ada sesuatu yang ingin
saya tanyakan kepada Ibu.” Bre mencoba untuk tenang dalam setiap pengucapan
kata dan kalimatnya.
“Hmm.. Apa?” sekarang Ibu Carissa menatap
lekat ke arah Bre. Tatapan dingin mata jernih dari wajah cantiknya sedikit
membuat Bre gugup.
“Mengenai nilai atau kelulusan dari mata
kuliah Ibu yang saya tempuh.”
“Berapa nomor ujian anda?”
Bre mengeja beberapa angka nomor ujiannya.
“What’s
wrong? Nilai anda memang tidak bisa untuk meluluskan mata kuliah yang saya
ampu,” kata Ibu Carissa tenang dan dingin.
“Begini Bu, saya mau minta penjelasan
kenapa saya selalu medapatkan hasil yang mengecewakan setiap mengulang mata
kuliah yang Ibu berikan. Ini sudah yang keempat kalinya saya mengulang dan yang
keempat kalinya pula saya gagal.”
“Karena nilai anda jelek.”
“Apa?!”
“Karena nilai Brian Kusuma Wardhana jelek
dan tidak bisa dikatrol untuk lolos. That’s
all..”
“Cuma itu alesan Ibu??” tanya Bre gusar.
“Kalau kenyataannya memang seperti itu,
mau gimana lagi??” sahut Ibu Carissa mulai jutek.
“Padahal saya merasa mampu sekali
mengerjakan ujian dan berbagai kuis yang Ibu berikan.”
“Itu hanya perasaan anda saja, kalau anda
mampu mengerjakan. Tapi kenyataannya kan tidak.”
Ruangan dosen itu hening beberapa saat.
Tak sadar Bre mengepalkan jemarinya dengan kuat dan raut wajah yang menahan
emosi. Sedang Ibu Carissa mulai berkutat dengan berkas-berkasnya lagi. “Brengsekk!!
Belagu banget siih Ibu Carissa Si Puteri
Es ini. Makanya ga laku-laku. Misal tingkahnya ga aneh gini, gue mau kok
macari dia,” batin Bre malah ngelantur tanpa arah. “Atau gini-giniii,
seandainya Ibu Carissa itu cowok, sudah bakalan gue ajak duel sampai titik
darah penghabisan dari kemaren-kemaren...,” imbuh Bre dalam lanturan yang tak berarah.
“Oke Bu kalau itu alasannya. Padahal semua
mata kuliah yang saya tempuh semuanya lulus, cuma mata kuliah Ibu saja yang
terus-terusan gagal. Maka dari itu, saya ingin ujian lisan dari Ibu Carissa
untuk mengetahui sejauh mana saya bisa mengerjakan semua ujian dari Ibu, baik
lisan maupun tulisan!”
“Oke saya penuhi!”
“Tapi saya meminta dihadirkan para saksi
didalam setiap ujian yang akan saya tempuh,” ujar Bre menantang dengan nada
tinggi dan dengan tatap mata tajam menghunjam wajah jelita Bu Carissa—mulai
memerah—menahan emosi demi mendengar lontaran Bre yang pongah.
Mata jernih dari wajah jelita Ibu Carissa
mulai mengkilat marah demi mendengar omongan Bre. “Anda kira saya tidak objektif
dalam pemberian nilai? Iyaa..?! Saya punya otoritas penuh dalam pemberian nilai
kepada setiap mahasiswa saya.”
“Tapi saya meragukan obyektifitas Ibu
selama ini.”
“Oo.. Jadi anda menghina dan melecehkan
otoritas saya??”
“Nggg...” Bre tiba-tiba gugup ketika Ibu
Carissa mengeluarkan taring pencabut nyawanya.
“Hmm.. Oke, anda telah berani meragukan
kapasitas saya sebagai pemberi nilai! Anda juga telah menekan otoritas saya
sebagai dosen!! Saya tidak sudi dengan permintaan anda, terlalu konyol buat
saya. Dan baru kali ini saya, Carissa Adell Gayatri, menemui seorang mahasiswa
yang berani menentang keputusan-keputusan yang telah saya ambil. Apa
mentang-mentang anda punyapengaruh besar di lingkup kampus, terus kemudian
seenaknya menyerang kredibilitas saya?! Begituu?!!” kata Ibu Carissa marah merasa
disepelekan oleh ucapan Bre.
“Sa..sa..saya tidak bermaksud begi.......,”
ucapan Bre tercekat dan terpotong ditenggorokan melihat luapan emosi dari Ibu
Carissa. Bre merasa jerih.
“Cukup!! Sekarang anda keluar dari ruangan
saya!! KELUAARRR...!!!”
“BRAAKKK!!” suara buku terbanting di meja
kerjanya oleh telapak tangan berkulit kuning langsat itu. Bre terpengarah
dengan teriakan itu. Rasa takut dan menyesal menyelimuti ruang didadanya. “Aaahhh
Sialan!! Kenapa juga tadi gue bilangnya malah dengan nada menantang Ibu
Carissa? BEGO!!” rutuk Bre dalam hati sambil melangkah keluar dari ruangan
dosen killer bernama Carissa Adell
Gayatri, perempuan lajang berusia 26 tahun yang juga alumni dengan almamater
yang sama dengan Bre. Petugas BAAK yang melihat dan mendengar semua kejadian
barusan hanya menggeleng-gelengkan kepala, ketika melihat sosok Bre berjalan
dengan menundukkan kepala. Gila!! Bener-bener sang Pembunuh tuh dosen. Tokoh
mahasiswa yang terkenal kegigihannya pun dibantingnya tanpa ampun. Gilaa!
Laksana Utut Adianto Granmaster catur
Indonesia yang telah salah melangkahkan bidak caturnya dalam menghadapi juara
dunia catur, Gary Kasparov dari Rusia. Yaah.. Seperti itu lah nasib yang sedang
dialami Sang Don Juan, Brian Kusuma Wardhana.
Bre mencoba untuk melupakan kejadian
perseteruannya dengan Ibu Carissa. Dia melangkahkan kaki keluar kampus menuju
kampung Sidomukti untuk menyambangi rumah Karebet, sahabat yang juga salah satu
rekannya di BEM.
***
Rumah kontrakan Karebet terlihat lengang.
Sesekali terdengar meongan suara kucing jantan yang sedang ganjen melalukan PDKT
terhadap kucing betina. Bre memasuki halaman rumah dan berjalan menyusuri
lorong kecil di sisi kiri rumah Karebet. Jika memasuki melalui lorong tersebut,
maka Dia akan langsung menuju ke ruang tengah. Bre menajamkan pendengarannya,
setelah sampai di ruang tengah rumah kontrakan Karebet. Suara ganjil
terdengar. Hmm.. Sepertinya
suara dari mulut Karebet yang sedang ngorok ria. “Sialann Karebet!! Malah
sedang boci (bobo ciang), huh!”
umpat Bre. Dengan senyum jail mengembang,
“Hehehe.. Jailin aahh!!”
“Bet!! Karebett!!! Lu dimana? ni gue Bre!!
HALOOO!!! WOIII!!!” teriak Bre menggelegar keras membahana. Laksana Pukulan
Sinar Matahari dan Benteng Topan Melanda Samudera dari Pendekar Kapak Maut Naga
Geni yang meluluh lantakan Pukulan Sukma Jagat dari Pendekar Terkutuk Pemetik
Bunga. Tak berapa terdengar suara sedikit gaduh dari dalam kamar Karebet. “Hehehee..
Emang enak??” batin Bre.
Pintu kamar terbuka. Karebet berjalan
menghampiri Bre yang cengar-cengir sambil menggaruk kulit kepalanya yang tidak
gatal.
“Kamprett lu!! Ga seneng yaa kalo temen
lagi ngebo!” gerutu Karebet.
“Gue kira orangnya mati,” bisik Bre asal
menahan tawa.
“Gundulmu itu!” sungut Karebet.
“Hahahahaa!! Itu yang juga gue rasain
dulu,” sambung Bre. “Waktu gue sedang ngebom in the WC, lu dateng malah teriak-teriak ga jelas bikin bom gue
malu-malu keluar.”
“Ahh rese..ngaco lu, Bre!!”
“Hahahahahaaa!!!!!!”
Mereka berdua terdiam sebentar.
“Kita ngobrolnya di luar aja yuuk!” ajak
Bre.
“Siip...,” jawab Karebet sambil berjalan
menyusul Bre.
Mereka duduk di balai-balai di bawah pohon
mangga. Menikmati semilir angin yang cukup menyejukkan suasana siang itu.
Balai-balai itu berjarak tiga tombak dari teras rumah kontrakan Karebet.
“Ada angin apa yang membawa Kisanak
menyambagi Begawan Karebet di Padepokan Sidomukti??” tanya Karebet dengan gaya
bak Resi Drona dalam kisah Mahabharata.
“Begini Begawan Karebet, murid Eyang
Shinto Gendeng dari puncak Gunung Gede ini mohon petunjuk mengenai sosok
makhluk cantik di daerah Sidomukti ini. Kemarin Aku bertemu dengannya di perpustakaan
kampus dan ketika pulang cewek cantik itu berjalan memasuki padepokan Sidomukti
ini.”
“Siapa itu sosok cewek cantik, Kisanak?
Bidadari Angin Timur, kah? Anggini murid Dewa Tuak, kah? Ratu Duyung atau malah
Iblis Betina yang dulu pernah engkau taksir? Hmm.. Tapi, kenapa engkau tidak menanyakan perihal
berita penting ini kepada Kakek Segala Tahu, Kisanak?” tanya Begawan Karebet sambil
mengelus-elus jenggotnya.
“Aku sudah berusaha mencari Kakek Segala
Tahu dengan kaleng rombengnya itu, tapi denger-denger dia lagi mengunjungi Si
Tua Gila ke Andalas ditemani oleh Bujang Gila Tapak Sakti. Mereka masih
penasaran dan ingin mengungkap siapa sejatinya Empat Berewok dari Gua Sanggreng
itu. Makanya aku tanya kepada Begawan Karebet sang Penguasa Sidomukti ini!!”
“Ooo.. Begitu, Kisanak. Tapi bukankah
Kakek Segala Tahu ingin memastikan Makam Tanpa Nisan siapakah gerangan? Ketika
dunia persilatan dihebohkan dengan tragedi Maut yang Bernyanyi di Padjadjaran?
“Aku sendiri tidak tahu persis mengenai
berita tersebut Begawan. Setelah kejadian Gerhana di Gajah Mungkur dan
kemunculan Raja Rencong dari utara beberapa saat yang lalu.”
“Bagaimana dengan kapak maut Naga Geni-mu
yang tiada tanding dan banding itu, Kisanak? Apakah gagang serulingnya masih
mampu mengeluarkan dengung ribuan lebah?”
“Jelas masih! Hanya tusuk konde perak
kepunyaan Eyang Sinto Gendeng-lah yang sanggup menghadapinya. Eeh.. Kok jadi
ngebahas kapak maut Naga Geni sih??”
“HAHAHA!!! HAHAHAHA!!!!”
Meledaklah tawa kedua sahabat karib ini
yang barusan bersandiwara memerankan dengan sangat menjiwai tokoh yang ada di
dalam sebuah buku cerita silat kondang asli Indonesia.
“Mmm..tapi disini banyak cewek cantik, Bre.
Gue ga bisa mengidentifikasinya dong kalo ciri-ciri yang lu bilang cuma cantik
aja. Ada ciri yang lain ga? Lha, terus Karen gimana?” tanya Karebet sambil
menyulut rokok.
“Apa yaa? Mmm.. Anu tanduknya mancung, Bet.
Ekornya juga putiih. Udah gituu.......”
“Stop!! Stop, stopp!!! Makin ngelantur aja
lu, Bre. Maksud gue itu yang lebih detail, begoo!!”
“Hehehe..” Bre terkekeh. “Kalo soal Karen
gampanglah. Dia udah bikin gue gila, tau ga lu. Masak tiap kali ketemu pasti
yang diomongin, kapan merit? Kapan merit?? Gituu mulu, heran deh gue, huuft!!” keluh Bre. “Eeh Bet, lu kan
Ketua Karang Taruna di sini. Lu punya koleksi foto-foto waktu ada kegiatan
muda-mudi di sini ga? Yaah, sapa tau wajah cantiknya terpotret,” imbuh Bre
dengan semangat.
“Nngg.. Ada sih, coba gue ambil dulu.”
Setelah
sepeminuman teh Karebet muncul dengan membawa beberapa bingkai foto.
“Nih Bre, coba lu buka dan cari sendiri
deeh...,” kata Karebet sambil mengulurkan tangan yang memegang buku foto. Bre
menerimanya, langsung serius membuka-buka dan mengamati foto itu satu per satu
dengan teliti. Matanya menatap tajam dari setiap lembar halaman foto yang
sedang di bukanya. Alisnya mengerenyit, kemudian tersenyum, tiba-tiba menggaruk
kulit kepalanya dan memasang tampang bego. Udah gitu....
“Ahaaa!!! Bet! Ini Bet! Cewek yang gue
maksud! Cantik yaah, emmh..anggun gitu. Gilaa!! Gimana menurut lu, Bet? Hah?
Sipkan?! Jelas laah, pilihan gue memang selalu aduhai Bet. Eeh Bet!! Liat neeh
senyumnya.. maniskan?? Bet, lho kok malah bengong siih??” tanya Bre bingung
mendapati Karebet diem tak bergerak, seperti terkena jurus Totok Angin.
Karebet terus-terusan memandang ke bibir
Bre yang nyerocos ga karuan.
“Yaa teranglah gue bengong liat lu yang ga
beres gitu. Biasa aja kalee, Bre.. mana coba fotonya gue pengen liat..” Karebet
tercengang melihat sosok cewek cantik di dalam foto. “Bre mending lu jangan
deketi dia aja..,” kata Karebet ragu.
“Kenapa emang? Lu naksir juga yaa?”
“Gila lu! Bukan gitu, masalahnya dia udah
punya tunangan. Tapi tunangannya sedang ngambil S2 di Perancis.”
“Gue kan cuma pengen kenal doang, Bet.
Soal dia udah punya tunangan atau belum, itu bukan urusan gue,” sahut Bre
datar.
“Beneerr. Hmm.. Dia anaknya baik banget,
Bre. Pendiem, ga neko-neko, ramah, dan lagian gue juga kenal baik sama ibunya. Mau
ditaroh mana muka gue coba kalo lu deketin cewek ini dan ibunya tau kalo lu
dapet info dari gue. Lagian gue takut, cewek ini tergoda sama lu, Bre. Gimana
dengan tunangannya dong??” kata Karebet bimbang dan ikut menggaruk kepalanya.
“Yaaelaah..pake garuk-garuk kepala segala
lu, Bet. Kaya ketombean aja...,” ucap Bre ringan, tanpa sadar kalo dia sebenernya
juga sering garuk-garuk kulit kepala.
“Begini, Bet. Lu ga usah takut kalau gue mo macem-macemin dia. Eh, namanya siapa sih?”
“Begini, Bet. Lu ga usah takut kalau gue mo macem-macemin dia. Eh, namanya siapa sih?”
“Keysha Luna Djatmiko.”
“Iyaa Keysha. Gue cuma mo berteman aja
kok. Malah ini bisa jadi alat untuk menguji kesetiaan Keitha. Tau maksud gue??”
“Keysha, bukan Keitha bego! Kaya gelandang
El Barca aja..”
“Eeh iyaa.. Keysha. Kalo Keysha
bener-bener sayang dan cinta sama tunangannya, so pasti gue ga akan berarti apa-apa kok baginya. Ga bakalan deh
seorang Bre merasuk ke dalam hatinya. Tapi yang utama, gue emang cuma mau
nambah temen aja, Bet. Eeh, rumahnya dimana?”
“Hmm.. Gue ngerti. Rumahnya nomor tiga
dari rumah kontrakan gue. Warna cokelat, ada pohon jambunya. Tapi, kalu lu
macem-macem, AWAS!!” ancam Karebet.
“Lu mo ngajak duel gue, Bet?? Yang bener
aja, man!! Orang lu murid gue di UKM
Taekwondo ma Kempo. Bisa gempor lu..hahahahaa!!” bilang Bre disertai tawa yang
tergelak.
“Iyaa..yaa.. hehehe...,” sahut Karebet
cepat.
“Fakultas apa Si Keysha, Bet?”
“Kedokteran, semester 4.”
“Hobinya apa? Tau ga lu?”
“Ngendon di rumah aja. Baca buku majalah
mode, menari, dan suka music classic..”
“Wah, suka mode juga yaa??”
“Iyaa, tapi ga yang gila-gilaan gitu deh.
Busananya juga selalu sopan kok.”
“Waow..tipe cewek yang sederhana tapi berwawasan
luas, mantap neeh!!”
“Oke dah terserah lu. Tapi pliss, jaga
kepercayaan gue!!” lanjut Karebet.
“Yoaa, Bet. Siip lah. Ya udah, gue ciao
dulu yaa, thanks infonya. Lu silahkan
lanjut acara bobo siangnya..”
“Haha.. Sialan lu, Bre! Udah ga ngantuk. Dasar
monyongg!!” Jawab Karebet sambil meninjukan kepalan tangan kanannya ke arah
bahu sahabatnya, Bre.
“Eeh, nocan
Keysha dong??”
“Gada nocan-nocan.
Dia lum bisa di share, cuma untuk
pribadi!! Lagian belum di verifikasi juga kok. Dasar detektif cap
kampret lu!!” imbuh Karebet.
“HAHAHAAA...!!!!!”
Tawa kedua sahabat itu membahana di suatu
siang. Mereka bercengkerama sekitar 2x sepenanakan nasi. Keysha Luna
Djatmiko. Nama yang aduhai cantik. Secantik rembulan di padang singgalang. Tapi,
Si Juwita Hati kah dia???
Bre celingak-celinguk di depan rumah
ber-cat cokelat yang ada pohon jambunya. Pintu pagar besinya tidak dikunci.
Didorongnya perlahan, tapi tetep aja menimbulkan suara yang keras. Besi
bergesekan dengan besi, mengakibatkan seorang perempuan tua berkacamata yang
sedang duduk merajut benang itu kaget. Dilihatnya Bre dari ujung rambut—model dreadlock—sampe ujung sepatunya. Alis
perempuan tua itu berkerut bingung melihat penampilan Si Hellboy yang
malah tampak cengangas-cengenges ga bener.
“Selamat sore Bu, saya temen Keysha...,”
sapa Bre ramah.
“Oooh.. Temen Keysha ya?? Sebentar saya
panggilkan,” jawab perempuan tua berkacamata itu dengan tatapan curiga. Perempuan
tua berkacamata itu masuk ke dalam rumah untuk memanggil Keysha.
“Ada temanmu, sayang...”
“Siapa Ma?”
“Mama ga tau. Belum pernah ke sini.”
Keysha termangu sebentar dan
bertanya-tanya dalam hati siapakah seseorang yang mencarinya. Tumben deh. Padahal
selama ini jarang banget ada temen yang mengunjunginya, terlebih seorang cowok.
“Ciri-ciri orangnya gimana, Ma?”
“Gondrong berambut gimbal kaya Mbah Surip.”
“Hahaha, Mama bisa aja. Keysha ga punya
temen dengan model rambut kaya gitu Maa..”
“Pake celana jeans robek-robek. Kaya pimpinan geng gitu deh pokoknya,” lanjut
perempuan tua berkaca mata yang ternyata adalah mamanya Keysha.
Keysha langsung berjalan ke depan untuk
menemui tamu misterius itu. Keysha terbengong dengan tamu yang sedang
dihadapinya. Ucapan ‘Selamat sore’ dari tamu itu seperti tidak terdengar,
karena Keysha mencoba mengingat-ingat siapakah gerangan ketua geng yang
sekarang tampak senyam-senyum sendiri itu. Setelah Keysha berhasil mengingatnya,
dia merasa sedikit kikuk.
“Maaf mengganggu. Sibuk, kah?” tanya Bre
dengan tampang cool. Mata
elangnya membelalak menyaksikan makhluk yang begitu cantik di suatu sore yang
indah dengan hanya mengenakan daster rumahan. Tanpa lengan, tipis, berleher
rendah, dan dengan panjang setengah paha. Keysha masih berpikir untuk
memberikan jawaban kepada cowok ganteng dihadapannya. Sebelum Keysha menjawab,
Bre lengsung memberikan untaian kalimat saktinya, “Maaf kalo mengganggu, tapi
gue akan merasa bersalah kalo tidak menyampaikanya. Karenaa.....” Bre
menggantungkan kalimatnya dan menatap Keysha.
“Tidak..tidak menganggu kok. Mari silahkan
duduk,” jawab Keysha ramah.
Beuh.. Suaranya terdengar
merdu. Gerakan bibirnya sewaktu berbicara sangatlah menakjubkan. Jikalau kau
berkidung merdu, mereka yang lapar pun akan mendengarkan dengan perutnya.
“Brian..,” kata Bre sambil menjabat tangan
halus milik Keysha.
“Keysha..,” ucap Keysha pelan.
“Begini.. Ada temen gue, wartawan dari
tabloid Gadis Ngeri eh Negeri pernah melihat Keysha sedang menari, ga tau dalam
perayaan apa gitu..”
“Masak sih? Kapan emangnya??” tanya Keysha
penasaran.
“Untuk tepatnya gue juga ga tau. Tapi dia
pengen nge-interview Keysha.”
“Waduh...”
“Kenapa waduh? Tabloidnya membutuhkan
gadis seperti Keysha. Sosok modern tapi tetep berkepribadian.”
“Waduuh...”
“Kebanyakan gadis-gadis sekarang sok
modern tapi ga ada respect. Hanya
mengumbar masalah fisik. Ukuran dada sekian, pinggang sekian, pokoknya hanya
masalah fisik dan fisik,” kata Bre sambil menelan ludah ketika melirik ke arah Keysha.
“Kita hanya terkesiap dengan tempat, tapi ga tau dengan isinya. Kita tercekam
pada wadah, tapi lupa akan isinya.”
“Waduh...”
“Kok waduh-waduh mulu sih??” tanya Bre
gemes.
“Hehehehe..” Keysha tergelak melihat
tampang Bre yang bingung. “Boleh juga otak cowok keren ini..,” batin Keysha
sambil tersenyum simpul. Senyum yang terpampang jelas memikat hati siapa
saja yang berkesempatan melihatnya. Seperti yang Bre alami sekarang ini.
“Hubungannya dengan gue apa??”
“Hmm.. Begini, Keysha akan didaulat untuk
membersihkan image dan stigma negatif
itu dengan kharisma dan kepribadian yang lu miliki. Kasarnya begini, ini lho
gadis yang sesungguhnya wanita..begitu nona cantiikkk!”
“Hahahahaa.. Ada-ada saja lu. Pinter banget
ngegombal. Tapi gue sukaa!”
Uuupsst!! Keysha keceplosan ngomong.
Wajahnya yang berkulit putih langsung terlihat merona merah.
Obrolan terus mengalir dengan lancar. Dari
A-Z mereka berdua bicarakan. Terlihat ada kecocokan di antara mereka. Tawa
canda tiada henti keluar dari mulut mereka di teras rumah berwarna cokelat itu.
Sesekali pinggang Bre kena cubit Keysha, ketika Bre menjailinya. Semuanya
itu menjadikan Bre lupa akan keberadaan Karen, lupa akan Ibu Carissa, dan lupa
akan riset yang akan dilakukan fakultasnya. Sedang Keysha pun lupa akan
hari-harinya yang begitu terasa sepi tanpa tawa dan canda. Keysha juga sejenak
lupa terhadap tunangannya, Ujie. Sebuah peluang telah berhasil di tembus Bre, sang
Don Juan. Hatinya begitu riang. Tak terasa waktu maghrib pun segera menjelang.
Dari raut wajah cantik Keysha tampak kalo dia mengeluh, kenapa waktu berlalu
begitu cepat? Sedang dirinya merasa sangat nyaman dengan kehadiran Bre.
“Seringlah main-main kesini yaa. Jangan
bosan..”
Bre pun tersenyum dan mengangguk mantap,
mengiyakan permintaan Keysha, gadis cantik Juwita Hati. Bre
bersiul-siul ringan menyusuri kampung Sidomukti dengan berbunga hati. Perutnya
yang laper tiba-tiba kenyang. Matanya yang ngantuk tiba-tiba cerah. Apakah ini
cinta??
Tulit.. Tulit..1 new message
Pak Baroto^dekan fak
Brian, saya tunggu dirumah jam 18.30. ada hal penting yang harus kita
bicarakan.
Bersambung ke postingan selanjutnya...
Nantikan yaa, hehehe...
0 Komentar untuk "Juwita Hati: Puteri Es dan Detektif Cap Kampret"
Untuk diperhatikan!!!
1. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang menyisipkan link aktif
3. Komentar yang mengandung unsur kekerasan, porno, dan manyinggung SARA akan dihapus