BRE—begitu sapaan
Brian—membaca sms dari Pak Baroto dan langsung mengarahkan langkah kakinya
menuju perumahan dosen yang terletak tak jauh dari seputaran kampus dan kampung
Sidomukti. Rumah Pak Baroto sudah terlihat jelas beberapa meter dari tempat Bre
melangkah.
“Tok! Tok! Tok..!”
“Selamat malam, Pak...,” sapa Bre pelan.
“Brian Kusuma.. Mari, mari silahkan
masuk..,” jawab Pak Baroto dengan suaranya yang berat. Brian dipersilahkan
duduk oleh Pak Baroto di sofa warna merah yang berada di ruang tamu.
“Ada apa Pak?”
“Begini, Brian. Tadi siang, Ibu Carissa
meminta para dosen untuk melakukan sidang, membicarakan perihal tentang dirimu.
Ada berita katanya kau telah menghina Ibu Carissa? Saya pengen dengar langsung
dari kamu, makanya kamu Bapak undang kemari.”
Bre terkaget-kaget mendengar informasi
dari Pak Baroto. Matanya membelalak melihat raut wajah sang Dekan fakultas.
“Sampai segitunya Pak?” ucap lirih Bre.
“Benar. Ibu Carissa meminta tentang hal
ini untuk dimasukkan dalam agenda rapat bulanan para dosen. Nampaknya dia
sangat tersinggung dan memberikan opsi; kau yang keluar atau dia sendiri yang
mengundurkan diri sebagai dosen di kampus kita.”
“Kau paham maksud saya, Brian??” tanya Pak
Baroto dengan wajah serius.
“Iyaa, Pak..”
“Sekarang ceritakan-lah apa yang
sebenarnya terjadi, Brian. Biar semuanya clear
tanpa harus melakukan sidang dewan segala. Saya sangat menyukai kamu. Saya
tidak mau kamu mengalami kesulitan di fakultas kita, karena jasa yang pernah kau
perbuat untuk fakultas.”
Brian menjelaskan, “Semuanya bermula
ketika saya menanyakan kepada Ibu Carissa tentang mata kuliah yang beliau ampu.
Saya sudah mengulang keempat kalinya Pak dan keempat kalinya pula saya gagal
lulus. Padahal, bukannya sombong, saya sangat yakin dapat mengerjakan ujian
dari mata kuliah Ibu Carissa baik lisan, tertulis, ataupun berbagai kuis yang
diberikan Ibu Carissa terhadap saya...”
“Kamu benar-benar yakin bisa
mengerjakannya??” tanya Pak Baroto memotong ucapan Bre.
“Yakin bisa, Pak! Bapak tahu sendiri kan
saya itu termasuk mahasiswa yang bagaimana?”
“Ya..yaa..yaa.. Saya tahu, kamu termasuk
salah satu mahasiswa yang cerdas dan brilian,” imbuh pak Baroto.
“Ketika saya tanyakan kepada beliau,
katanya nilai saya jelek sehingga tidak bisa mengatrol kelulusan saya. Saya
sendiri heran Pak, masak mengulang sampai empat kali tapi gagal semuanya.
Makanya tadi saya meminta kepada Ibu Carissa untuk menghadirkan para saksi
ketika saya maju ujian pada mata kuliahnya. Terus terang saya bingung Pak, kalo
ga lulus tahun ini, dana kuliah dari orang tua akan di-stop karena saya sudah molor kuliah yaa gara-gara mata kuliah Ibu
Carissa itu. Huuh!!” ujar Bre menggebu-gebu.
Brian menghela nafas panjang. Mengandung
keprihatinan dan kegelisahan yang mendalam dalam hatinya. Pak Baroto
mendengarkan ucapan Bre dengan serius sambil mengusap-usap botak dikepalanya.
“Maka dari itu saya meminta adanya saksi
dalam ujian saya, Pak.”
“Disitulah rumitnya, Brian. Kalangan dosen
biasanya saling tenggang rasa dan tidak mau menyinggung koleganya.”
“Demi menutupi kebenaran? Oh my God!! Saya tidak mengira di dunia
ilmu, kampus yang banyak melahirkan menteri, pejabat, dan orang-orang penting
ini, masih punya pandangan yang bisa merugikan mahasiswanya.”
“Ilmu cuma alat, tapi pelaksananya
tetaplah manusia.”
“Jadi saya harus bagaimana, Pak? Terus
apakah riset yang diadakan oleh fakultas ini tetap memilih saya sebagai leader-nya meski sedang ada kasus
seperti ini??”
“Dekatilah Ibu Carissa secara psikologi.
Biarkan Beliau mereda emosinya dulu, sehingga semuanya akan berjalan lancar
kembali dan kamu bisa ujian secara wajar. Mengenai riset, kamu tetaplah menjadi
team leader. Tidak ada pengaruhnya
dengan peristiwa ini,” kata Pak Baroto penuh kebapakan.
“Kalo saja mata kuliah Ibu Carissa lulus,
saya udah jadi sarjana dari tahun kemarin. Terima kasih Pak. Saya akan
senantiasa melaksanakan petuah Bapak. Saya mohon pamit Pak...,” ucap lirih sang
Don Juan.
“Oke Brian. Jangan sampai kehilangan
kepercayaan diri.”
“Baik Pak, saya mohon pamit.”
Bre berjalan dengan kepala tertunduk di
jalan berdebu. Sementara itu lampu-lampu merkuri sudah menyala terang, tapi
tetaplah tak bisa menerangi hati dan jiwa Brian Kusuma Wardhana. Pikirannya kosong. Benaknya melayang menuju
lorong tak berujung.
***
Kerumunan mahasiswa semakin menyemut di
pelataran hall kampus gedung B.
Panasnya terik matahari tidak menyurutkan minat para mahasiswa yang sedang
asyik melihat pertunjukan seni yang tengah berlangsung. Suasana acara pembacaan
puisi itu sangat meriah, penuh hiruk pikuk. Bre terlihat melongokkan kepala untuk
mencari tempat yang pas untuk menikmati acara tersebut. Dia juga celingukan
mencari sosok Karen, siapa tahu dia juga ikutan nimbrung diacara seni itu. Para
pembaca puisi silih berganti membawakan karyanya. Pelaku teater pun terus
beraksi. Sungguh sangat luar biasa penjiwaan yang mereka suguhkan dalam setiap
lontaran kata dalam puisi tersebut. Riuh sorak dan tepuk tangan langsung
membahana jikalau sang penyair telah selesai membawakan puisinya.
“Sekarang kita memberikan kesempatan
kepada sosok aktivis kampus untuk membacakan puisi secara spontan. Kita
panggil...Brian!!!” seru Master of
Ceremony dadakan itu.
Kontan seluruh penonton menolehkan
wajahnya ke arah Bre dan berteriak koor diiringi tepuk tangan. “Brian!! Briann!!
Brian!!! Brian!!!”
“Kampret!! Kenapa jadi gue yang kena
sasaran sih?? Apakah ini acara untuk ngerjain gue? Padahal kan gue ga ulang
tahun. Ah, rese banget dah MC-nya!!” rutuk Bre.
Dengan langkah kaki maju ke depan. Dengan
berbagai pengalamannya, Bre tetep terlihat tenang dan tetep cool, meski dia didapuk membawakan puisi
secara spontan.
“Oke temen-temen semuanya, terima kasih
telah menunjuk saya untuk mengisi acara ini. Meski saya mungkin terlihat tolol
dihadapan kalian..”
“Hahahaa..”
“Huuuuuu!!”
“Suit.. suit!!”
“Ayo Bre!! Kamu bisa!!”
“Assololee, Bree!!” dan berbagai kata
penyemangat untuk Bre.
Bre terdiam sejenak memikirkan puisi apa
yang akan dibawakanya. Dia teringat pernah membaca sebuah puisi cinta yang
ditulis oleh seorang fisikawan yang ditujukan kepada sang kekasih. “Hmm.. Itu
aja yang mau gue bawain,” batin Bre.
“Oke, Saya akan membawakan sebuah puisi
cinta dari seorang Fisikawan untuk sang Kekasih..”
“PLOKK! PLOOK!! PLOOKKK!!!” Tepuk tangan
langsung membahana menyambut aksi Bre.
“Semenjak bertemu denganmu, energi statik
benih cintamu telah mengejutkan gaya pegas jantungku, sehingga jantungku
berdetak tak beraturan bagaikan gelombang bunyi gendang yang tak beraturan saat
aku berada beberapa meter darimu. Refleksi cahaya cintamu telah membunuh urat
mataku sehinga membiaskan bayangan wajahmu yang selalu di otakku. Pancaran
Radiasi Pesonamu membuat otakku tidak bisa berpikir rasional, sehingga
elektromagnet dalam hatiku terpengaruh gelombang magnet cintamu. Sejak Saat
itu, atom-atom penyusun cinta ini kian mengumpul karena gaya listrik statik dan
energi Potensial di hatiku.
Saat jauh darimu, partikel-partikel
cintaku tidak bisa diam sehinga melakukan tumbukan-tumbukan lenting sempurna
dan menghasilkan energi rindu dengan rumus E = MC2, yang mana M adalah Masa
waktu dimana semakin lama semakin jauh darimu maka energi rinduku semakin
bertambah besar. Sedangkan C adalah Cintaku padamu yang berbanding lurus dengan
Energi rinduku.
Usaha untuk memberikan gaya lorenzt-ku
padamu telah kuberikan dengan FL = i B Sin ØØ. Mudah-mudahan dengan penurunan
rumus cintaku padamu dapat memahami pemuaian cintaku padamu dan peningkatan
massa jenis cintaku agar tekanan cinta dalam hatiku bisa setimbang setelah
bereaksi dengan cahaya cintamu. Dimana bila FL adalah gaya cintaku padamu akan
berbanding lurus dengan i (arus listrik cintaku) dan B adalah besarnya medan
magnet dalam hatiku dan arah sudut refleksi cinta dengan Sin.”
I = Iintensitas
L = Listrik
O = Optik
V = Velositas (kecepatan)
E = Energi
U = Usaha
“Saya Bre, sekian dan terima kasih..”
“PLOKK!!.. PLOOK!!.. PLOOKK!!!”
“Waah keren, Bre!!”
“Bisa aja lu!!!” tepuk tangan membahana
pun terdengar meriah di akhir aksi maut Si Don Juan Flamboyan.
“Mas Bre!! teriak seorang cewek cantik.
Bre menolehkan wajahnya dan tersenyum,
ketika melihat Keysha melambaikan tangannya. Bre berjalan mendekat ke arah
gadis yang membutakan hatinya itu. Bre
juga melihat Karebet bersama Santi di dekat Keysha.
juga melihat Karebet bersama Santi di dekat Keysha.
“Wah, mas Bre hebat banget. Keysha suka
dengan gaya, mimik wajah, dan intonasi suara mas Bre ketika membawakan puisi
tadi. Cool banget juga kereeenn!!!”
sanjung Keysha senang tanpa tedeng aling-aling seraya memegangi lengan Bre dan
menggoyang-goyangkannya.
“Hehehe.. Padahal biasa aja kok Key...,”
sahut Bre sambil mengedipkan mata ke arah Karebet.
Karebet pun memelototkan matanya
mengetahui Bre telah berhasil menundukkan Keysha dengan pesona yang dimiliki
aktivis kampus itu.
“Hi Bet, Santi. Ternyata suka acara kaya
gini juga, ya? Eeh..by the way, ada
film bagus neeh di Twenty One. Bruce Willis.”
“Hi juga Bre.. Wah asyik tuh filmnya..,”
sahut Karebet dan Santi.
“Iyaa, pasti keren aksi Bruce Willis. Yuuk
nonton yuuk, mas Bre mau kan nemenin Key??” ujar Keysha merajuk manja kepada
Bre.
Bre pun dengan senang hati menyetujui
ajakan Keysha.
“Hebat lu Bre. Hebat..,” bisik Karebet di
telinga Bre. “Rapalan apa yang lu gunakan sih? Sampe Keysha kebat-kebit gitu
sama lu??” tanya Karebet penasaran.
“Biasalah Bet, rapalan dari Kitab Sakti
Delapan Sabda Dewa..,” jawab Bre singkat.
“HAHAHAHAA!!!”
Mereka tertawa kompak. Bre pun tersenyum
dengan penuh kepuasan setelah mampu merobohkan benteng hati dan jiwa Keysha.
***
Bus pariwisata mulai melaju meninggalkan
kampus yang penuh dengan cerita kehidupan. Bus dengan karoseri Maju Mapan
bergerak menuju suatu tempat berdataran tinggi di sebuah kota di Jawa Tengah,
menghantarkan para mahasiswa-mahasiswi dan dosen pembimbing untuk melakukan
penelitian atau riset mengenai efek dari pembangunan industri terhadap pola
pikir dan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Di dalam bus ber-ac terlihat seru dengan berbagai
celotehan lucu yang dikeluarkan silih berganti dari puluhan mulut para mahasiswa.
“Bre, lihat tuh Si Puteri Es ikut
bernyanyi..,” kata Andi berbisik kepada Bre sambil menunjuk ke arah Ibu
Carissa. “Tampak senang dia,” imbuh Andi.
Bre melongokkan wajahnya dan dia melihat
Ibu Carissa ikut mendendangkan lagu dari genjrengan gitar salah seorang mahasiswa.
“Padahal cantik ya? tapi kok masih betah
aja untuk terus melajang. Kurang apa coba, Bre? Udah pinter, cantik, putih
mulus, bodinya pun oke punya,” bilang Andi yang merupakan salah satu temen Bre
di HMJ.
“Bener sih
apa yang lu katakan. Tapi sayang dia begitu dingin sama yang namanya cowok,”
timpal Bre meng-amini pendapat Andi. “Eeh Ndi..ntar selama di Dieng lu jagain
Karen, ya? Gue ga mau dia terlihat kolokan ke gue. Ga enak aja sama temen-temen
yang lain karena di sini kan gue diserahi tanggung jawab yang besar sama Pak
Baroto,” imbuh Bre.
“Iya beres dah, tenang aja lu Bre. Lagian
siapa yang nolak tawaran untuk nemenin cewek seksi kaya Karen..hahaha!!” balas
Andi dengan ketawa ngakak.
“Bisa aja lu!”
“Hahahaha!!” Mereka tertawa kompak satu sama
lain.
Setelah menempuh perjalanan panjang, laju
Bus mulai terseok-seok ketika meliwati jalan yang berkelok-kelok. Pemandangan
yang begitu indah di samping kanan berupa jurang dan di kirinya berupa hutan
pohon pinus. Ibu Carissa terlihat masih terlelap. Hmm.. Wajah itu masih aja
menunjukkan kejelitaan dalam tidurnya.
“Bre, tau ga kenapa Ibu Carissa belum
punya pasangan sampe sekarang?” tanya Andi sembari ngemil popcorn.
“Eem...apa ya? Pada minder kali kalo mo
ngedeketin dia..,” jawab Bre sambil menyerobot popcorn dari tangan Andi.
“Tepat Bre! Dulu waktu zaman kuliah, Ibu
Carissa termasuk bunga kampus. Cantik, anak orang kaya, dan pinter banget
otaknya. Bahkan tak jarang Ibu Carissa membego-bego kan temen kuliahnya kalo
keliru dalam penyampaian teori masalah tugas kuliah. Dia selalu berusaha tampil
sejenius mungkin dengan membaca berbagai macam buku materi kuliah, sehingga
kemampuan akademiknya sangat jauh meninggalkan temen-temen kuliahnya.
Sampe-sampe julukan Killer itu sudah
tersemat semenjak dia kuliah. Hahaha!! Gila! Maka dari itu, sampe sekarang ga ada
cowok yang berani ngedeketin dia, Bre...,” terang Andi sedetail-detailnya.
“Ooo, begitu ya? Pantesan Ibu Carissa
terlihat begitu angker,” imbuh Brian.
Tak terasa perjalanan panjang itu sudah
berakhir. Mereka sudah menapakkan kaki di daerah tujuan, Dataran Tinggi Dieng.
Pemandangan yang susah ditemukan di kota besar kini tersuguh manis. Terlihat
dikejauhan berupa candi-candi dan pohon jati serta pohon pinus. Hawa yang
dingin langsung terasa menyelimuti tubuh-tubuh letih rombongan bus itu.
Bergegas mereka keluar satu per satu dari dalam bus lengkap dengan barang
bawaan masing-masing.
“Maaf Bu, biar saya yang bawa kopernya
aja,” kata Bre ramah kepada Ibu Carissa. Dia menoleh ke samping dan terlihatlah
sosok Brian dengan senyum maut yang selama ini banyak membuat para gadis klepek-klepek.
“Terima kasih,” ucap Ibu Carissa pelan.
Gurat keletihan telah terpahat dengan indah di raut muka yang masih saja
terlihat cantik. Koper itu segera berpindah tangan.
“Uuhh gila jack! Jemari tangan dan
kulitnya halus bangeet!” teriak Bre dalam hati, ketika merasakan kalo tangannya
baru saja bersentuhan dengan tangan Si Puteri Es.
Mereka berjalan menuju penginapan di rumah ketua desa. Jalan yang mereka lalui sedikit menanjak dengan batu kerikil yang berserakan.
Mereka berjalan menuju penginapan di rumah ketua desa. Jalan yang mereka lalui sedikit menanjak dengan batu kerikil yang berserakan.
“Pening Bu?” tanya Bre rada ngeper.
“Hmm.. Iya sedikit pening.”
“Ntar saya buatkan teh, Bu. Teh daerah
sini sangat enak dan harum. Ada yang mengatakan bisa juga untuk aroma terapi.
Mudah-mudahan bisa menyegarkan Ibu,” ujar Bre menawarkan solusi. Sekilas Bre
melihat Karen sedang berjalan dengan Andi dan rombongan yang lain.
Riset itu sekitar seminggu lamanya. Mereka
melakukan serangkaian wawancara dengan masyarakat sekitar. Mengumpulkan berbagai
data adalah salah satu aktivitas mereka selama disini. Petang ini Bre berjalan
ke pemondokan beriringan dengan Ibu Carissa, setelah mencari data dari rumah ke
rumah penduduk setempat.
“Ibu tidak ingin melihat tempat-tempat
yang menakjubkan yang dipunyai desa ini?” tanya Bre dengan nafas terengah-engah
karena jalan yang dilaluinya memang menanjak.
“Saya capek banget, pengen istirahat.”
“Sayang kalau kesempatan ini dilewatkan
begitu saja. Di daerah sini ada telaga warna yang airnya berwarna-warni dan
sangat bening sampe untuk bercermin pun bisa. Tak jarang banyak burung yang
bermain di telaga itu. Wah, pokoknya seperti di dalam dongeng semuanya tampak
sangatlah indah,” ujar Bre seraya berpromosi layaknya duta wisata.
“Nge-gombalmu boleh juga, tapi ga percaya!!”
“Bukan gombal Bu, tapi memang kenyataan.
Ada juga candi-candi yang berdiri kokoh dikelilingi rumput nan hijau. Hmm.. Sangatlah menakjubkan dan
sangat cocok untuk ditempati oleh dewa-dewi.”
“Wah lumayan keren, tapi sayang tubuhku
sangat capek. Ini juga udah kerasa meriang.”
“Kalo begitu biar nanti saya carikan obat
tradisional.”
Mereka tiba ditempat penginapan. Puteri Es
itu terlihat kepayahan dengan peluh di keningnya.
“Bu Carissa suka pijit ga? Kalo suka, di sini
ada ibu tua yang pintar mijit.”
“Boleh juga idenya.”
“Oke Bu, saya carikan yaa...,” ujar Bre
dan segera berlalu meninggalkan Ibu Carissa.
Dosen killer
itu termangu dalam diam. “Baik juga Brian anaknya,” gumamnya. Ibu Carissa
teringat bagaimana Brian penuh perhatian dan banyak membantu
keperluan-keperluannya selama riset berlangsung. “Sangat telaten
terhadapku,” gumam lirih sang Dosen. Selama bergaul di lingkungan yang dingin
itu, kekakuan dan kebengisan Ibu Carissa perlahan-lahan lumer.
Jam 19.00 WIB, Bre menyambangi pondokan
Ibu Carissa bersama ibu tua tukang pijat. Bre berdesir melihat sang Dosen hanya
mengenakan baju kemben yang membalut tubuh semampainya. Lengan itu terlihat
panjang dan mulus.
“Ehemm!! Ehemm!!” Ibu Carissa berdehem
dengan sedikit senyuman, membuyarkan tatap mata elang Bre.
“Ehh.. Ngg.. I..inii Bu, Ibu pemijitnya,”
ucap Bre salah tingkah.
“Oke.. Itu apa yang kau bawa?” tanya Ibu
Carissa memperhatikan sesuatu yang sedang dipegang Bre.
“Ooh, ini ramuan tradisional Bu. Jahe
merah, secang, serei, adas pulowaras, akar-akaran dan gula batu. Ntar direbus
kemudian disaring, airnya diminum selagi masih hangat. Dijamin besok Ibu sudah
kembali fresh,” terang Bre.
“Makasih banyak yaa..”
Ibu Carissa tersenyum manis ke arah Bre,
kemudian masuk kamar diikuti perempuan paruh baya yang akan memijitnya.
“Senyum kesepuluh ke gue sampai saat ini.
Gila! Senyum wanita dewasa itu sungguh memabukkan kalbu,” batin Bre sambil
berlalu dari kamar Si Puteri Es yang telah mencair.
***
Senyum mentari pagi mulai muncul di balik
gunung. Senyum yang cerah secerah hati Bre yang mampu melumerkan hati Ibu
Carissa. Beberapa mahasiswa tampak masih berkerubut sarung dan merokok untuk
melawan hawa dingin yang masih terasa. Terlihat Bre berjalan ke arah pondokan
dengan handuk yang masih tersampir di pundaknya. Hanya dengan celana kolor Bre
tampak segar setelah mandi.
“Mandi dulu Ndi, biar seger!! Cemen lu
ahh!” teriak Bre ketika melihat Andi masih terbelenggu kain sarung.
Ibu Carissa sedang menikmati hangatnya
sinar sang Surya ditemani secangkir teh hangat. Wajah cantiknya terlihat
berseri.
“Brian!!” seru Ibu Carissa sambil
melambaikan tangan ke arah Bre. “Wah ramuanmu semalem bener-bener mujarab.
Nafsu makan saya bertambah. Wah, bisa-bisa aku jadi endut kalo berlama-lama di
sini,” kata sang Dosen semangat, sambil melirik dada bidang Bre. “Hmm.. Dadanya
sungguh bagus, bidang. Otot trisep dan bisepnya pun terbentuk, ditambah perut
yang sixpack. Sungguh cowok jantan,”
gumam dalam hati Ibu Carissa.
“Saya jamin tidak akan endut, Bu. Gadis
gunung juga biasanya banyak makan tapi mereka berbadan singset karena hawa
segar dan mendaki bukit adalah obat kecantikan yang manjur. Semakin lama di sini,
tubuh Ibu akan semakin bagus berlekuk,” celoteh Bre.
Ibu Carissa langsung
merona malu dengan kata-kata Bre. Tapi dalam hatinya dia sungguh tersanjung.
“Eh, jadi kita ke telaga?”
“Kalo Ibu mau, saya sih oke-oke aja.”
“Ayo Brian!” kata sang dosen bersemangat.
“Berdua saja? Atau saya panggil yang
lain?”
“Ngg.. Iya berdua aja, Brian..”
“Oke deh. Saya bersiap dulu ya, Bu.”
“Oke!”
Ibu Carissa mengenakan baju longgar warna
putih dan celana panjang pencil bahan kain mencetak batang tungkai kakinya yang
panjang. Tak lupa kacamata minus ¼ bertengger manis dihidungnya yang mancung. Sedangkan
Bre memakai kaos oblong dan celana lapangan selutut. Mereka berdua mulai
berjalan menembus rumput dan bunga-bunga liar. Sesekali Bre memperhatikan
sesuatu yang indah yang sedang berjalan di sampingnya.
“Sedikit jauh kita akan berjalan, Bu..”
“It's
oke!”
Selama perjalanan menuju telaga, Bre terus
berceloteh tentang situs-situs yang ada di daerah sekitar situ. Ibu Carissa
menjadi pendengar yang budiman. Cerita Bre sungguh mengasyikkan.
Tak terasa mereka sudah sampai tujuan.
Bintik-bintik keringat muncul menghiasi ujung hidung Ibu Carissa yang cuping
hidungnya terlihat mengembang dan mengempis terengah-engah. Ibu dosen yang
cantik itu duduk di atas rerumputan. Di depannya terhampar telaga yang berair
warna-warni. Sekitar 200 meter dari telaga ada sebuah rumah kayu yang masih
terawat tapi tak berpenghuni. Tempat untuk melepas lelah para pemancing.
“Betulkan Bu yang saya bilang...,” kata
Bre berbisik sambil menunjuk ke arah telaga.
Sekelompok
burung bangau tampak bermain dipinggir telaga.
“Luar biasa!! Sangat memukau...,” gumamnya
lirih dengan pandangan takjub.
Bre terkekeh. Serombongan burung bangau
hinggap di seberang telaga. Salah satu diantara mereka terpeleset ke telaga dan
langsung bersuara, “KHAOK! KHAOOKK!!” Ibu Carissa tertawa merdu melihat bangau
yang terpesok kedalam telaga.
“Tempat ini agak meyakinkan kalo
dihubungkan dengan legenda. Banyak orang-orang ke sini untuk memperluhur batin,”
kata Bre membuka percakapan.
“Kau percaya?”
“Bisa ya atau bisa juga tidak. Soal keyakinan
aja..”
“Tapi kan tidak realistis?”
“Banyak yang tidak realistis tapi
dipercaya, misalnya soal ramalan astrologi.”
“Aah bullshit
itu!” sanggah Ibu Carissa.
“Saya pernah belajar ramalan, Bu.”
“Ooyaa?”
“Mana telapak tangan Ibu.”
Ibu Carissa terlihat gugup ketika telapak
tangannya mulai dipegang Bre. Perlahan ditelusurinya gurat tangan Ibu dosen
itu. Kening Bre berkerut, kening perempuan cantik itu pun ikut berkerut. Bre
terlihat serius terhadap gurat telapak tangan yang dipegangnya. Yang dipikirkannya
bukan pada guratan tapi alangkah mulusnya tangan ini (kesempatan emas hehehe).
Begitu lembut.
“Bagaimana?”
“Begini.. Berdasarkan gurat tangan, Ibu
itu makannya banyak, jutek orangnya tapi cantik parasnya..”
“Hei kurang ajar!”
“Tapi benerkan, Bu?”
“Sama juga boong tuuh namanya. Uuuh!”
mulut Ibu Carissa cemberut tapi itu lah awal dari sebuah senyuman. Yaah..
Senyuman mematikan bagi siapa saja yang melihatnya.
Dia menarik tangannya tapi Bre menahan.
Angin yang bertiup sepoi menerpa rambut Ibu Carissa sehingga menutup kening.
Bre merapikan anak rambut yang nakal itu. Sang Dosen cantik terpana
sesaat. Mereka bertatapan. Pipi Ibu dosen itu merona merah. Dia juga menggigit
bibir dan merunduk malu. Tangan Bre yang menggenggam pergelangan, kini
pindah ke jari. Bre meremas jemari itu. Ibu Carissa menatapnya. Debur jantung
dosen jelita itu bergemuruh. Di tengah alam yang dibelai angin gunung itu, dia
bukanlah seorang dosen. Dia hanyalah seorang wanita yang sedang merasakan
debaran jantungnya.
Tatap mata elang Bre membuatnya gemetar.
Suasana yang tak pernah dialaminya selama ini. Ketika sedang asyik mengeluarkan
getaran asmara di dekat telaga, tiba-tiba butiran air jatuh dari langit. Gerimis
dan semakin bertambah deras. Spontan mereka berdua berlari bergandengan tangan
menuju kesebuah rumah kayu yang berjarak 200 meter dari tempat mereka. Sesampainya
di dalam, mereka dengan kompak melihat telaga yang tertimpa hujan.
“Tadi begitu cerah sekarang ujan deras...,”
gumam Ibu Carissa
“Kemarin begitu judes sekarang begitu
mengasyikan...," gumam Bre sambil melirik menggoda sosok jelita di
sebelahnya.
“Apaan sih..
Iiiiih sebel deh.....,” sahut Ibu dosen dengan manja seraya melontarkan cubitan
gemas ke arah Bre.
Bre pun dengan sigap menangkap tangan yang
hendak mencubitnya dan langsung memeluk erat tubuh semampai sang Dosen. Tanpa
takut, cowok ganteng berambut dreadlock
itu mencium bibir Ibu Carissa. Bibir mereka saling menempel erat, ciuman kedua insan
berbeda status itu sungguh lucu. Ibu Carissa hanya mampu memejamkan mata sambil
mendongakkan kepala ke atas. Baru kali ini Ibu Carissa melakukannya, apalagi
dengan mahasiswa yang diampunya sendiri, Bre. Ibu Carissa terkesiap, menyadari
perbuatannya. Wajah cantiknya mendadak memerah malu. Ketika memandang ke depan,
dilihatnya wajah ganteng itu sedang menatap paras cantiknya dengan penuh
pesona. Seulas senyum terlihat mengembang pada bibirnya, senyum kebahagiaan
karena telah berhasil menaklukan Ibu dosennya yang cantik.
“Amboii!! Carissa bukan main cantiknya. Kamu
tampak lebih indah dilihat dari dekat...,” ucap Bre sambil membungkukkan badan
memberi hormat
Ibu Carissa tampak senang dengan pujian
yang dilontarkan.
“Pinter banget kamu gombalnya. Eeh,
manggilnya dah ga pake Ibu. Jangan kurang ajar yaa...,” sahut Ibu Carissa
melotot lucu.
“Hahahaha!!” Bre tertawa geli melihat
mimik wajah Ibu Carissa.
Tanpa mereka sadari hujan telah reda
sedari tadi.
“Yaudah, pulang yuuk..”
Mereka pun keluar dari rumah kayu dengan
wajah ceria. Rumah kayu yang menjadi saksi bisu penaklukan Ibu Carissa oleh
sang Don Juan Kadal, Brian. Mereka berjalan bergandengan tangan dan
mengayun-ayunkannya.
“Kenapa sih Ibu kok judes banget? Kayanya benci banget sama saya?” tanya
Bre sambil memalingkan muka ke arah Ibu dosen yang cantik.
“Kesalahanmu sebesar gunung dan sedalam
lautan....,” jawab Ibu Carissa dengan santai.
“Emang salah saya apa sih, Bu?” tanya Bre heran.
“Kamu inget ga pas pertama kali aku ngasih
kuliah di kelas kamu?”
“Hmm, apa yaa? Ooh iyaa.. Ibu pake rok
sejengkal di atas lutut, betis Ibu mulus banget.”
“Kurang ajar kamu! Jadi kamu melototin
betisku, yaa?!” sahut Ibu Carissa seraya menonjok pundak pemuda gagah itu. “Waktu
itu kamu tanya tentang teori Sigmund Freud yang mengatakan bahwa perilaku seks
akan mempengaruhi tindakan seseorang...,” imbuh dosen muda itu.
“Lha, terus hubungannya apa dong?” Bre
tampak bingung dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Karena kamu nyindir aku. Kamu tau kan
kalo aku masih single dan belum punya
pacar? Dan kamu sendiri aku perhatiin sering gonta-ganti pacar, makanya
semenjak itu aku benci kamu..”
“Wah, diem-diem Ibu perhatian banget yaa
sama saya, hehehe. Jadi ge-er neeh..”
Ibu Carissa
Adel Gayatri merona merah tampak malu dengan kata-katanya sendiri.
“Sejujurnya cowok kaya kamu adalah dambaanku
ketika waktu kuliah dulu. Namun sayangnya dia hadir di masa sekarang dan tak
mungkin aku kembali ke masa lalu. Andai aja ada Batu Pemutar Waktu kaya cerita
Wiro Sableng..”
“Hah!! Ibu juga suka cerita silat itu
yaa?? Hahahaha!!” Bre merasa kaget, senang, dan terharu mendengar pengakuan sang
Dosen kalau dirinya adalah cowok dambaan Ibu Carissa.
Mereka melewati sebuah bukit. Tiba-tiba
pendengaran mereka berdua menangkap suara yang mencurigakan yang berasal dari
semak-semak rumput gajah yang tinggi.
“Ssstt!! Ibu mendengar sesuatu??”
Ibu Carissa mengerutkan kening dan mencoba
menajamkan pendengarannya.
“Iyaa Bre, ada suara-suara aneh gitu
deeh..”
“Ayo kita cari, Bu...,” ajak Bre sambil
menggandeng tangan Ibu Carissa dan berjalan ke arah semak-semak rumput gajah.
Ketika Bre menyibakkan semak-semak itu, Wattauw!!! Dilihatnya
Andi sedang bermesraan dengan Karen, pacar Bre. Bre terbelalak, demikian juga
dengan Ibu Carissa.
“Karen! Andi!” kata Bre dan Ibu Carissa
bersamaan.
“Bre.. Ibu Carissa...,” kata Karen dan
Andi bersamaan pula.
Mereka saling pandang dan terkejut. Bre
langsung mengajak Ibu Carissa cabut dari tempat Karen dan Andi memadu kasih.
Pengkhianatan telah terjadi. Andi menusuk Bre dari belakang.
“Bree!!! Tunggu!!” teriak Karen dan Andi
bersamaan.
***
Bre telentang di atas kasur pondokannya.
Dia mengambil ponsel, kemudian diotak-atik sebentar dan tak lama kemudian
terdengarlah suara lagu Thrash
Metal. Gebukan drum Igor Cavalera terdengar sadis, pun demikian dengan
suara vokal berat dari vocalist yang
juga adalah kakaknya sendiri yaitu Max Cavalera. Cabikan bass oleh Andreas
Kisser ikut menyemarakkan lagu Beneith The Remains-nya Sepultura. Tak berapa
lama terdengar ketukan pintu. Bre melirikkan matanya untuk melihat siapa yang
datang.
“Bre.. Maa.. Maaf..,” kata Andi terbata
dan langsung ikut rebah disisi Bre.
“Lu tau apa yang telah lu lakuin, Ndi?
Hmm..?” tanya Bre dingin. “Lu nge-khianatin kepercayaan yang gue berikan,” imbuh
Bre.
“Iii..iyaa Bre, gue tau. Maaf. Nggg.. Tapi
boleh gue jujur ke elu?” tanya Andi dengan nada sedikit tercekat
ditenggorokannya.
“Apa?”
“Guu.. Guee sebenernya, eng..su..suka sama
Karen semenjak semester awal. Tapi ketika gue tau dia udah jadi milik lu, maka
gue kubur dalem-dalem impian untuk jadi cowoknya. Soal kejadian tadi, oke gue
ngaku salah banget sama lu. Terus terang, rasa yang udah gue kubur dalem-dalem
tiba-tiba aja muncul semenjak lu bilang minta tolong gue untuk jagain Karen.
Dan tadi gue terbawa suasana Bre. Maaf..” Andi terlihat menyesal dan bersikap gentle mengakui kesalahan juga mengungkapkan
isi hatinya kepada Bre.
“Gue sebenernya kecewa sama lu. Kecewaaaa
banget. Tapi gue salut, lu dengan gentle
berani ngomong terus terang ke gue. Hmm..
Emang Karen cinta sama lu?” tanya Bre cool.
“Hmm.. Gimana yaah? Keliatannya sih gitu, Bre. Karen juga curhat tentang
hubungan kalian. Maaf Bre, bukannya menghasut elu, tapi Karen juga ngomong kalo
dia udah ga nyaman bareng lu. Benarkah?”
Apa gara-gara gue selalu menghindar kalo diajak ngebahas masalah married
ya?
Suasana hening sesaat..
“Sepertinya gue
harus rela ngelepas Karen. Gue ga mau kalo Karen ngelakuin hal kaya tadi
dibelakang gue setelah married. Sulit memang tapi harus, karena hidup adalah
pilihan dan life’s never flat. Gue rela Karen bersama Andi. Andi cowok yang
gentleman. Ga adil rasanya kalo menghalangi cinta mereka berdua,” batin
Bre
“Andi, lu sahabat baik gue. Kita selalu
bersama dalam suka duka. Huuftt!! Ngg.. Kalo misal lu suka sama Karen dan
sebaliknya, gue ikhlas kok. Karena jujur gue juga bimbang ketika Karen
terus-terusan ngajakin gue married,” ujar
Bre lirih.
“Ap.. Apaa?? Lu ga sedang ngigau kan??”
“Ga, Ndi. Gue ga ngigau! Gue ga mau
ngehalang-halangin perasaan kalian berdua.”
“Aduuchh.. Ma.. Makasiih, Bre. Makasih
banget atas kerelaan lu, atas pengorbanan lu buat gue,” kata Andi senang tapi
seakan masih ga percaya Bre bilang seperti itu.
“Hehehee..gapapa Ndi...,” senyum Bre
menghias wajahnya. Antara senang dan sedih harus berpisah dengan Karen.
“Andi.. Bre...,” ucap lirih Karen yang
tiba-tiba muncul dikamar pondokan Bre.
Bre dan Andi terkejut melihat kehadiran
Karen.
“Lu denger semua yang kita omongin,
Karen??” tanya Bre datar.
“Iii.. Iyaa..,” jawab Karen sambil
menundukkan kepala.
“Karen, kalo lu memang ingin bersama Andi,
gue ikhlas kok. Gue ngerti lu pasti nganggep gue ga serius sama lu, gara-gara
gue ga pernah mau bahas masalah married.
Tapi gapapa. Gue akan bahagia kalo liat kalian bahagia,” bilang Bre gamblang.
“Haah?!! Luu..lu..serius Bre?” tanya Karen
kaget mendengar penjelasan Bre.
“Bener, Karen. Gue serius! Gue ingin
ngeliat lu lebih bahagia bersama Andi,” Jawab Bre sambil tersenyum.
“Bree! Makasihh..lu udah mau ngerelain
gue. Lu juga udah berjiwa besar menghadapi
kenyataan ini. Makasih Bre, makasih banget...,” ucap Karen berkaca-kaca sambil
memberikan pelukan terakhirnya kepada Bre yang sekarang sudah berubah status
menjadi sang Mantan.
“Iyaa Karen sama-sama. Maaf yaah, kalo
selama ini gue sering berbuat salah dan selalu ngecewain elu.”
“Gue juga minta maaf, Bre. Selama ini gue
juga banyak salah ke elu.”
“Iya deeh. Eeh, sekarang kan kalian udah
resmi jadian, mana traktirannya neeh??” todong Bre seperti preman minta jatah.
“Hahaha!!! Beres dah Bre. Dikantin kampus
yaa??” kata Andi dengan mesam-mesem.
“Wah ga bisa gitu dong, masak cuma di
kantin doang siih?? Pokoknya KFC yaa?!”
“Yeee, itu namanya malak, tau ga sih lu!!”
cibir Karen.
“Iyaa tuh kaya gerombolan preman tanah
abang aja lu, Bre!” imbuh Andi membela pacarnya, Karen.
“Beuh!! Kok
kompak amat sih kalian??”
“Yaa iyaa laah yaaw! Hahaha!!” kata Andi
dengan mimik muka bahagia sambil merangkulkan tangan ke pundak Karen.
“Yaa udah kalo gitu McD, gimana??” tawar
Bre.
“Yeee.. sama aja itu mah, gimana siih?”
“Hahahahahaha!!!!” tawa mereka bertiga
kompak.
Terkadang ketika melihat orang lain bahagia
dengan pasangannya, membuat kita iri. Bahkan, ada sebagian orang yang sampai
gelap mata menginginkan pasangan bahagia itu harus terus-terusan berantem dan
pada akhirnya putus. Sehingga sebagian orang yang gelap mata itu bisa
memanfaatkannya. Gelap mata sudah pasti gelap juga mata hatinya. Hanya
kebesaran jiwalah yang mampu mengenyahkan pola pikir jahat seperti itu.
0 Komentar untuk "Juwita Hati: Penaklukan sang Don Juan Kadal"
Untuk diperhatikan!!!
1. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang menyisipkan link aktif
3. Komentar yang mengandung unsur kekerasan, porno, dan manyinggung SARA akan dihapus