Kumpulan Cerpen, Novel, Puisi, Komunitas Penulis, Lomba Menulis Cerpen dan Novel

Juwita Hati: Penaklukan sang Don Juan Kadal

BRE—begitu sapaan Brian—membaca sms dari Pak Baroto dan langsung mengarahkan langkah kakinya menuju perumahan dosen yang terletak tak jauh dari seputaran kampus dan kampung Sidomukti. Rumah Pak Baroto sudah terlihat jelas beberapa meter dari tempat Bre melangkah.
“Tok! Tok! Tok..!”
“Selamat malam, Pak...,” sapa Bre pelan.
“Brian Kusuma.. Mari, mari silahkan masuk..,” jawab Pak Baroto dengan suaranya yang berat. Brian dipersilahkan duduk oleh Pak Baroto di sofa warna merah yang berada di ruang tamu.
“Ada apa Pak?”
“Begini, Brian. Tadi siang, Ibu Carissa meminta para dosen untuk melakukan sidang, membicarakan perihal tentang dirimu. Ada berita katanya kau telah menghina Ibu Carissa? Saya pengen dengar langsung dari kamu, makanya kamu Bapak undang kemari.”
Bre terkaget-kaget mendengar informasi dari Pak Baroto. Matanya membelalak melihat raut wajah sang Dekan fakultas.
“Sampai segitunya Pak?” ucap lirih Bre.
“Benar. Ibu Carissa meminta tentang hal ini untuk dimasukkan dalam agenda rapat bulanan para dosen. Nampaknya dia sangat tersinggung dan memberikan opsi; kau yang keluar atau dia sendiri yang mengundurkan diri sebagai dosen di kampus kita.”
“Kau paham maksud saya, Brian??” tanya Pak Baroto dengan wajah serius.
“Iyaa, Pak..”
“Sekarang ceritakan-lah apa yang sebenarnya terjadi, Brian. Biar semuanya clear tanpa harus melakukan sidang dewan segala. Saya sangat menyukai kamu. Saya tidak mau kamu mengalami kesulitan di fakultas kita, karena jasa yang pernah kau perbuat untuk fakultas.”
Brian menjelaskan, “Semuanya bermula ketika saya menanyakan kepada Ibu Carissa tentang mata kuliah yang beliau ampu. Saya sudah mengulang keempat kalinya Pak dan keempat kalinya pula saya gagal lulus. Padahal, bukannya sombong, saya sangat yakin dapat mengerjakan ujian dari mata kuliah Ibu Carissa baik lisan, tertulis, ataupun berbagai kuis yang diberikan Ibu Carissa terhadap saya...”
“Kamu benar-benar yakin bisa mengerjakannya??” tanya Pak Baroto memotong ucapan Bre.
“Yakin bisa, Pak! Bapak tahu sendiri kan saya itu termasuk mahasiswa yang bagaimana?”
“Ya..yaa..yaa.. Saya tahu, kamu termasuk salah satu mahasiswa yang cerdas dan brilian,” imbuh pak Baroto.
“Ketika saya tanyakan kepada beliau, katanya nilai saya jelek sehingga tidak bisa mengatrol kelulusan saya. Saya sendiri heran Pak, masak mengulang sampai empat kali tapi gagal semuanya. Makanya tadi saya meminta kepada Ibu Carissa untuk menghadirkan para saksi ketika saya maju ujian pada mata kuliahnya. Terus terang saya bingung Pak, kalo ga lulus tahun ini, dana kuliah dari orang tua akan di-stop karena saya sudah molor kuliah yaa gara-gara mata kuliah Ibu Carissa itu. Huuh!!” ujar Bre menggebu-gebu.
Brian menghela nafas panjang. Mengandung keprihatinan dan kegelisahan yang mendalam dalam hatinya. Pak Baroto mendengarkan ucapan Bre dengan serius sambil mengusap-usap botak dikepalanya.
“Maka dari itu saya meminta adanya saksi dalam ujian saya, Pak.”
“Disitulah rumitnya, Brian. Kalangan dosen biasanya saling tenggang rasa dan tidak mau menyinggung koleganya.”
“Demi menutupi kebenaran? Oh my God!! Saya tidak mengira di dunia ilmu, kampus yang banyak melahirkan menteri, pejabat, dan orang-orang penting ini, masih punya pandangan yang bisa merugikan mahasiswanya.”
“Ilmu cuma alat, tapi pelaksananya tetaplah manusia.”
“Jadi saya harus bagaimana, Pak? Terus apakah riset yang diadakan oleh fakultas ini tetap memilih saya sebagai leader-nya meski sedang ada kasus seperti ini??”
“Dekatilah Ibu Carissa secara psikologi. Biarkan Beliau mereda emosinya dulu, sehingga semuanya akan berjalan lancar kembali dan kamu bisa ujian secara wajar. Mengenai riset, kamu tetaplah menjadi team leader. Tidak ada pengaruhnya dengan peristiwa ini,” kata Pak Baroto penuh kebapakan.
“Kalo saja mata kuliah Ibu Carissa lulus, saya udah jadi sarjana dari tahun kemarin. Terima kasih Pak. Saya akan senantiasa melaksanakan petuah Bapak. Saya mohon pamit Pak...,” ucap lirih sang Don Juan.
“Oke Brian. Jangan sampai kehilangan kepercayaan diri.”
“Baik Pak, saya mohon pamit.”
Bre berjalan dengan kepala tertunduk di jalan berdebu. Sementara itu lampu-lampu merkuri sudah menyala terang, tapi tetaplah tak bisa menerangi hati dan jiwa Brian Kusuma Wardhana. Pikirannya kosong. Benaknya melayang menuju lorong tak berujung.

***

Kerumunan mahasiswa semakin menyemut di pelataran hall kampus gedung B. Panasnya terik matahari tidak menyurutkan minat para mahasiswa yang sedang asyik melihat pertunjukan seni yang tengah berlangsung. Suasana acara pembacaan puisi itu sangat meriah, penuh hiruk pikuk. Bre terlihat melongokkan kepala untuk mencari tempat yang pas untuk menikmati acara tersebut. Dia juga celingukan mencari sosok Karen, siapa tahu dia juga ikutan nimbrung diacara seni itu. Para pembaca puisi silih berganti membawakan karyanya. Pelaku teater pun terus beraksi. Sungguh sangat luar biasa penjiwaan yang mereka suguhkan dalam setiap lontaran kata dalam puisi tersebut. Riuh sorak dan tepuk tangan langsung membahana jikalau sang penyair telah selesai membawakan puisinya.
“Sekarang kita memberikan kesempatan kepada sosok aktivis kampus untuk membacakan puisi secara spontan. Kita panggil...Brian!!!” seru Master of Ceremony dadakan itu.
Kontan seluruh penonton menolehkan wajahnya ke arah Bre dan berteriak koor diiringi tepuk tangan. “Brian!! Briann!! Brian!!! Brian!!!”
“Kampret!! Kenapa jadi gue yang kena sasaran sih?? Apakah ini acara untuk ngerjain gue? Padahal kan gue ga ulang tahun. Ah, rese banget dah MC-nya!!” rutuk Bre.
Dengan langkah kaki maju ke depan. Dengan berbagai pengalamannya, Bre tetep terlihat tenang dan tetep cool, meski dia didapuk membawakan puisi secara spontan.
“Oke temen-temen semuanya, terima kasih telah menunjuk saya untuk mengisi acara ini. Meski saya mungkin terlihat tolol dihadapan kalian..”
“Hahahaa..”
“Huuuuuu!!”
“Suit.. suit!!”
“Ayo Bre!! Kamu bisa!!”
“Assololee, Bree!!” dan berbagai kata penyemangat untuk Bre.
Bre terdiam sejenak memikirkan puisi apa yang akan dibawakanya. Dia teringat pernah membaca sebuah puisi cinta yang ditulis oleh seorang fisikawan yang ditujukan kepada sang kekasih. “Hmm.. Itu aja yang mau gue bawain,” batin Bre.
“Oke, Saya akan membawakan sebuah puisi cinta dari seorang Fisikawan untuk sang Kekasih..”
“PLOKK! PLOOK!! PLOOKKK!!!” Tepuk tangan langsung membahana menyambut aksi Bre.


“Semenjak bertemu denganmu, energi statik benih cintamu telah mengejutkan gaya pegas jantungku, sehingga jantungku berdetak tak beraturan bagaikan gelombang bunyi gendang yang tak beraturan saat aku berada beberapa meter darimu. Refleksi cahaya cintamu telah membunuh urat mataku sehinga membiaskan bayangan wajahmu yang selalu di otakku. Pancaran Radiasi Pesonamu membuat otakku tidak bisa berpikir rasional, sehingga elektromagnet dalam hatiku terpengaruh gelombang magnet cintamu. Sejak Saat itu, atom-atom penyusun cinta ini kian mengumpul karena gaya listrik statik dan energi Potensial di hatiku.
Saat jauh darimu, partikel-partikel cintaku tidak bisa diam sehinga melakukan tumbukan-tumbukan lenting sempurna dan menghasilkan energi rindu dengan rumus E = MC2, yang mana M adalah Masa waktu dimana semakin lama semakin jauh darimu maka energi rinduku semakin bertambah besar. Sedangkan C adalah Cintaku padamu yang berbanding lurus dengan Energi rinduku.
Usaha untuk memberikan gaya lorenzt-ku padamu telah kuberikan dengan FL = i B Sin ØØ. Mudah-mudahan dengan penurunan rumus cintaku padamu dapat memahami pemuaian cintaku padamu dan peningkatan massa jenis cintaku agar tekanan cinta dalam hatiku bisa setimbang setelah bereaksi dengan cahaya cintamu. Dimana bila FL adalah gaya cintaku padamu akan berbanding lurus dengan i (arus listrik cintaku) dan B adalah besarnya medan magnet dalam hatiku dan arah sudut refleksi cinta dengan Sin.”
I = Iintensitas
L = Listrik
O = Optik
V = Velositas (kecepatan)
E = Energi
U = Usaha


“Saya Bre, sekian dan terima kasih..”
“PLOKK!!.. PLOOK!!.. PLOOKK!!!”
“Waah keren, Bre!!” 
“Bisa aja lu!!!” tepuk tangan membahana pun terdengar meriah di akhir aksi maut Si Don Juan Flamboyan.
“Mas Bre!! teriak seorang cewek cantik.
Bre menolehkan wajahnya dan tersenyum, ketika melihat Keysha melambaikan tangannya. Bre berjalan mendekat ke arah gadis yang membutakan hatinya itu. Bre
juga melihat Karebet bersama Santi di dekat Keysha.
“Wah, mas Bre hebat banget. Keysha suka dengan gaya, mimik wajah, dan intonasi suara mas Bre ketika membawakan puisi tadi. Cool banget juga kereeenn!!!” sanjung Keysha senang tanpa tedeng aling-aling seraya memegangi lengan Bre dan menggoyang-goyangkannya.
“Hehehe.. Padahal biasa aja kok Key...,” sahut Bre sambil mengedipkan mata ke arah Karebet.
Karebet pun memelototkan matanya mengetahui Bre telah berhasil menundukkan Keysha dengan pesona yang dimiliki aktivis kampus itu.
“Hi Bet, Santi. Ternyata suka acara kaya gini juga, ya? Eeh..by the way, ada film bagus neeh di Twenty One. Bruce Willis.”
“Hi juga Bre.. Wah asyik tuh filmnya..,” sahut Karebet dan Santi.
“Iyaa, pasti keren aksi Bruce Willis. Yuuk nonton yuuk, mas Bre mau kan nemenin Key??” ujar Keysha merajuk manja kepada Bre.
Bre pun dengan senang hati menyetujui ajakan Keysha.
“Hebat lu Bre. Hebat..,” bisik Karebet di telinga Bre. “Rapalan apa yang lu gunakan sih? Sampe Keysha kebat-kebit gitu sama lu??” tanya Karebet penasaran.
“Biasalah Bet, rapalan dari Kitab Sakti Delapan Sabda Dewa..,” jawab Bre singkat.
“HAHAHAHAA!!!”
Mereka tertawa kompak. Bre pun tersenyum dengan penuh kepuasan setelah mampu merobohkan benteng hati dan jiwa Keysha.

***

Bus pariwisata mulai melaju meninggalkan kampus yang penuh dengan cerita kehidupan. Bus dengan karoseri Maju Mapan bergerak menuju suatu tempat berdataran tinggi di sebuah kota di Jawa Tengah, menghantarkan para mahasiswa-mahasiswi dan dosen pembimbing untuk melakukan penelitian atau riset mengenai efek dari pembangunan industri terhadap pola pikir dan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Di dalam bus ber-ac terlihat seru dengan berbagai celotehan lucu yang dikeluarkan silih berganti dari puluhan mulut para mahasiswa.
“Bre, lihat tuh Si Puteri Es ikut bernyanyi..,” kata Andi berbisik kepada Bre sambil menunjuk ke arah Ibu Carissa. “Tampak senang dia,” imbuh Andi.
Bre melongokkan wajahnya dan dia melihat Ibu Carissa ikut mendendangkan lagu dari genjrengan gitar salah seorang mahasiswa.
“Padahal cantik ya? tapi kok masih betah aja untuk terus melajang. Kurang apa coba, Bre? Udah pinter, cantik, putih mulus, bodinya pun oke punya,” bilang Andi yang merupakan salah satu temen Bre di HMJ.
“Bener sih apa yang lu katakan. Tapi sayang dia begitu dingin sama yang namanya cowok,” timpal Bre meng-amini pendapat Andi. “Eeh Ndi..ntar selama di Dieng lu jagain Karen, ya? Gue ga mau dia terlihat kolokan ke gue. Ga enak aja sama temen-temen yang lain karena di sini kan gue diserahi tanggung jawab yang besar sama Pak Baroto,” imbuh Bre.
“Iya beres dah, tenang aja lu Bre. Lagian siapa yang nolak tawaran untuk nemenin cewek seksi kaya Karen..hahaha!!” balas Andi dengan ketawa ngakak.
“Bisa aja lu!”
“Hahahaha!!” Mereka tertawa kompak satu sama lain.
Setelah menempuh perjalanan panjang, laju Bus mulai terseok-seok ketika meliwati jalan yang berkelok-kelok. Pemandangan yang begitu indah di samping kanan berupa jurang dan di kirinya berupa hutan pohon pinus. Ibu Carissa terlihat masih terlelap. Hmm.. Wajah itu masih aja menunjukkan kejelitaan dalam tidurnya.
“Bre, tau ga kenapa Ibu Carissa belum punya pasangan sampe sekarang?” tanya Andi sembari ngemil popcorn.
“Eem...apa ya? Pada minder kali kalo mo ngedeketin dia..,” jawab Bre sambil menyerobot popcorn dari tangan Andi.
“Tepat Bre! Dulu waktu zaman kuliah, Ibu Carissa termasuk bunga kampus. Cantik, anak orang kaya, dan pinter banget otaknya. Bahkan tak jarang Ibu Carissa membego-bego kan temen kuliahnya kalo keliru dalam penyampaian teori masalah tugas kuliah. Dia selalu berusaha tampil sejenius mungkin dengan membaca berbagai macam buku materi kuliah, sehingga kemampuan akademiknya sangat jauh meninggalkan temen-temen kuliahnya. Sampe-sampe julukan Killer itu sudah tersemat semenjak dia kuliah. Hahaha!! Gila! Maka dari itu, sampe sekarang ga ada cowok yang berani ngedeketin dia, Bre...,” terang Andi sedetail-detailnya.
“Ooo, begitu ya? Pantesan Ibu Carissa terlihat begitu angker,” imbuh Brian.
Tak terasa perjalanan panjang itu sudah berakhir. Mereka sudah menapakkan kaki di daerah tujuan, Dataran Tinggi Dieng. Pemandangan yang susah ditemukan di kota besar kini tersuguh manis. Terlihat dikejauhan berupa candi-candi dan pohon jati serta pohon pinus. Hawa yang dingin langsung terasa menyelimuti tubuh-tubuh letih rombongan bus itu. Bergegas mereka keluar satu per satu dari dalam bus lengkap dengan barang bawaan masing-masing.
“Maaf Bu, biar saya yang bawa kopernya aja,” kata Bre ramah kepada Ibu Carissa. Dia menoleh ke samping dan terlihatlah sosok Brian dengan senyum maut yang selama ini banyak membuat para gadis klepek-klepek.
“Terima kasih,” ucap Ibu Carissa pelan. Gurat keletihan telah terpahat dengan indah di raut muka yang masih saja terlihat cantik. Koper itu segera berpindah tangan.
“Uuhh gila jack! Jemari tangan dan kulitnya halus bangeet!” teriak Bre dalam hati, ketika merasakan kalo tangannya baru saja bersentuhan dengan tangan Si Puteri Es.
Mereka berjalan menuju penginapan di rumah ketua desa. Jalan yang mereka lalui sedikit menanjak dengan batu kerikil yang berserakan.
“Pening Bu?” tanya Bre rada ngeper.
“Hmm.. Iya sedikit pening.”
“Ntar saya buatkan teh, Bu. Teh daerah sini sangat enak dan harum. Ada yang mengatakan bisa juga untuk aroma terapi. Mudah-mudahan bisa menyegarkan Ibu,” ujar Bre menawarkan solusi. Sekilas Bre melihat Karen sedang berjalan dengan Andi dan rombongan yang lain.
Riset itu sekitar seminggu lamanya. Mereka melakukan serangkaian wawancara dengan masyarakat sekitar. Mengumpulkan berbagai data adalah salah satu aktivitas mereka selama disini. Petang ini Bre berjalan ke pemondokan beriringan dengan Ibu Carissa, setelah mencari data dari rumah ke rumah penduduk setempat.
“Ibu tidak ingin melihat tempat-tempat yang menakjubkan yang dipunyai desa ini?” tanya Bre dengan nafas terengah-engah karena jalan yang dilaluinya memang menanjak.
“Saya capek banget, pengen istirahat.”
“Sayang kalau kesempatan ini dilewatkan begitu saja. Di daerah sini ada telaga warna yang airnya berwarna-warni dan sangat bening sampe untuk bercermin pun bisa. Tak jarang banyak burung yang bermain di telaga itu. Wah, pokoknya seperti di dalam dongeng semuanya tampak sangatlah indah,” ujar Bre seraya berpromosi layaknya duta wisata.
“Nge-gombalmu boleh juga, tapi ga percaya!!”
“Bukan gombal Bu, tapi memang kenyataan. Ada juga candi-candi yang berdiri kokoh dikelilingi rumput nan hijau. Hmm.. Sangatlah menakjubkan dan sangat cocok untuk ditempati oleh dewa-dewi.”
“Wah lumayan keren, tapi sayang tubuhku sangat capek. Ini juga udah kerasa meriang.”
“Kalo begitu biar nanti saya carikan obat tradisional.”
Mereka tiba ditempat penginapan. Puteri Es itu terlihat kepayahan dengan peluh di keningnya.
“Bu Carissa suka pijit ga? Kalo suka, di sini ada ibu tua yang pintar mijit.”
“Boleh juga idenya.”
“Oke Bu, saya carikan yaa...,” ujar Bre dan segera berlalu meninggalkan Ibu Carissa.
Dosen killer itu termangu dalam diam. “Baik juga Brian anaknya,” gumamnya. Ibu Carissa teringat bagaimana Brian penuh perhatian dan banyak membantu keperluan-keperluannya selama riset berlangsung. “Sangat telaten terhadapku,” gumam lirih sang Dosen. Selama bergaul di lingkungan yang dingin itu, kekakuan dan kebengisan Ibu Carissa perlahan-lahan lumer.
Jam 19.00 WIB, Bre menyambangi pondokan Ibu Carissa bersama ibu tua tukang pijat. Bre berdesir melihat sang Dosen hanya mengenakan baju kemben yang membalut tubuh semampainya. Lengan itu terlihat panjang dan mulus.
“Ehemm!! Ehemm!!” Ibu Carissa berdehem dengan sedikit senyuman, membuyarkan tatap mata elang Bre.
“Ehh.. Ngg.. I..inii Bu, Ibu pemijitnya,” ucap Bre salah tingkah.
“Oke.. Itu apa yang kau bawa?” tanya Ibu Carissa memperhatikan sesuatu yang sedang dipegang Bre.
“Ooh, ini ramuan tradisional Bu. Jahe merah, secang, serei, adas pulowaras, akar-akaran dan gula batu. Ntar direbus kemudian disaring, airnya diminum selagi masih hangat. Dijamin besok Ibu sudah kembali fresh,” terang Bre.
“Makasih banyak yaa..”
Ibu Carissa tersenyum manis ke arah Bre, kemudian masuk kamar diikuti perempuan paruh baya yang akan memijitnya.
“Senyum kesepuluh ke gue sampai saat ini. Gila! Senyum wanita dewasa itu sungguh memabukkan kalbu,” batin Bre sambil berlalu dari kamar Si Puteri Es yang telah mencair.

***

Senyum mentari pagi mulai muncul di balik gunung. Senyum yang cerah secerah hati Bre yang mampu melumerkan hati Ibu Carissa. Beberapa mahasiswa tampak masih berkerubut sarung dan merokok untuk melawan hawa dingin yang masih terasa. Terlihat Bre berjalan ke arah pondokan dengan handuk yang masih tersampir di pundaknya. Hanya dengan celana kolor Bre tampak segar setelah mandi.
“Mandi dulu Ndi, biar seger!! Cemen lu ahh!” teriak Bre ketika melihat Andi masih terbelenggu kain sarung.
Ibu Carissa sedang menikmati hangatnya sinar sang Surya ditemani secangkir teh hangat. Wajah cantiknya terlihat berseri.
“Brian!!” seru Ibu Carissa sambil melambaikan tangan ke arah Bre. “Wah ramuanmu semalem bener-bener mujarab. Nafsu makan saya bertambah. Wah, bisa-bisa aku jadi endut kalo berlama-lama di sini,” kata sang Dosen semangat, sambil melirik dada bidang Bre. “Hmm.. Dadanya sungguh bagus, bidang. Otot trisep dan bisepnya pun terbentuk, ditambah perut yang sixpack. Sungguh cowok jantan,” gumam dalam hati Ibu Carissa.
“Saya jamin tidak akan endut, Bu. Gadis gunung juga biasanya banyak makan tapi mereka berbadan singset karena hawa segar dan mendaki bukit adalah obat kecantikan yang manjur. Semakin lama di sini, tubuh Ibu akan semakin bagus berlekuk,” celoteh Bre.
Ibu Carissa langsung merona malu dengan kata-kata Bre. Tapi dalam hatinya dia sungguh tersanjung.
“Eh, jadi kita ke telaga?”
“Kalo Ibu mau, saya sih oke-oke aja.”
“Ayo Brian!” kata sang dosen bersemangat.
“Berdua saja? Atau saya panggil yang lain?”
“Ngg.. Iya berdua aja, Brian..”
“Oke deh. Saya bersiap dulu ya, Bu.”
“Oke!”
Ibu Carissa mengenakan baju longgar warna putih dan celana panjang pencil bahan kain mencetak batang tungkai kakinya yang panjang. Tak lupa kacamata minus ¼ bertengger manis dihidungnya yang mancung. Sedangkan Bre memakai kaos oblong dan celana lapangan selutut. Mereka berdua mulai berjalan menembus rumput dan bunga-bunga liar. Sesekali Bre memperhatikan sesuatu yang indah yang sedang berjalan di sampingnya.
“Sedikit jauh kita akan berjalan, Bu..”
It's oke!”
Selama perjalanan menuju telaga, Bre terus berceloteh tentang situs-situs yang ada di daerah sekitar situ. Ibu Carissa menjadi pendengar yang budiman. Cerita Bre sungguh mengasyikkan.
Tak terasa mereka sudah sampai tujuan. Bintik-bintik keringat muncul menghiasi ujung hidung Ibu Carissa yang cuping hidungnya terlihat mengembang dan mengempis terengah-engah. Ibu dosen yang cantik itu duduk di atas rerumputan. Di depannya terhampar telaga yang berair warna-warni. Sekitar 200 meter dari telaga ada sebuah rumah kayu yang masih terawat tapi tak berpenghuni. Tempat untuk melepas lelah para pemancing.
“Betulkan Bu yang saya bilang...,” kata Bre berbisik sambil menunjuk ke arah telaga.
Sekelompok burung bangau tampak bermain dipinggir telaga.
“Luar biasa!! Sangat memukau...,” gumamnya lirih dengan pandangan takjub.
Bre terkekeh. Serombongan burung bangau hinggap di seberang telaga. Salah satu diantara mereka terpeleset ke telaga dan langsung bersuara, “KHAOK! KHAOOKK!!” Ibu Carissa tertawa merdu melihat bangau yang terpesok kedalam telaga.
“Tempat ini agak meyakinkan kalo dihubungkan dengan legenda. Banyak orang-orang ke sini untuk memperluhur batin,” kata Bre membuka percakapan.
“Kau percaya?”
“Bisa ya atau bisa juga tidak. Soal keyakinan aja..”
“Tapi kan tidak realistis?”
“Banyak yang tidak realistis tapi dipercaya, misalnya soal ramalan astrologi.”
“Aah bullshit itu!” sanggah Ibu Carissa.
“Saya pernah belajar ramalan, Bu.”
“Ooyaa?”
“Mana telapak tangan Ibu.”
Ibu Carissa terlihat gugup ketika telapak tangannya mulai dipegang Bre. Perlahan ditelusurinya gurat tangan Ibu dosen itu. Kening Bre berkerut, kening perempuan cantik itu pun ikut berkerut. Bre terlihat serius terhadap gurat telapak tangan yang dipegangnya. Yang dipikirkannya bukan pada guratan tapi alangkah mulusnya tangan ini (kesempatan emas hehehe). Begitu lembut.
“Bagaimana?”
“Begini.. Berdasarkan gurat tangan, Ibu itu makannya banyak, jutek orangnya tapi cantik parasnya..”
“Hei kurang ajar!”
“Tapi benerkan, Bu?”
“Sama juga boong tuuh namanya. Uuuh!” mulut Ibu Carissa cemberut tapi itu lah awal dari sebuah senyuman. Yaah.. Senyuman mematikan bagi siapa saja yang melihatnya.
Dia menarik tangannya tapi Bre menahan. Angin yang bertiup sepoi menerpa rambut Ibu Carissa sehingga menutup kening. Bre merapikan anak rambut yang nakal itu. Sang Dosen cantik terpana sesaat. Mereka bertatapan. Pipi Ibu dosen itu merona merah. Dia juga menggigit bibir dan merunduk malu. Tangan Bre yang menggenggam pergelangan, kini pindah ke jari. Bre meremas jemari itu. Ibu Carissa menatapnya. Debur jantung dosen jelita itu bergemuruh. Di tengah alam yang dibelai angin gunung itu, dia bukanlah seorang dosen. Dia hanyalah seorang wanita yang sedang merasakan debaran jantungnya.
Tatap mata elang Bre membuatnya gemetar. Suasana yang tak pernah dialaminya selama ini. Ketika sedang asyik mengeluarkan getaran asmara di dekat telaga, tiba-tiba butiran air jatuh dari langit. Gerimis dan semakin bertambah deras. Spontan mereka berdua berlari bergandengan tangan menuju kesebuah rumah kayu yang berjarak 200 meter dari tempat mereka. Sesampainya di dalam, mereka dengan kompak melihat telaga yang tertimpa hujan.
“Tadi begitu cerah sekarang ujan deras...,” gumam Ibu Carissa
“Kemarin begitu judes sekarang begitu mengasyikan...," gumam Bre sambil melirik menggoda sosok jelita di sebelahnya.
“Apaan sih.. Iiiiih sebel deh.....,” sahut Ibu dosen dengan manja seraya melontarkan cubitan gemas ke arah Bre.
Bre pun dengan sigap menangkap tangan yang hendak mencubitnya dan langsung memeluk erat tubuh semampai sang Dosen. Tanpa takut, cowok ganteng berambut dreadlock itu mencium bibir Ibu Carissa. Bibir mereka saling menempel erat, ciuman kedua insan berbeda status itu sungguh lucu. Ibu Carissa hanya mampu memejamkan mata sambil mendongakkan kepala ke atas. Baru kali ini Ibu Carissa melakukannya, apalagi dengan mahasiswa yang diampunya sendiri, Bre. Ibu Carissa terkesiap, menyadari perbuatannya. Wajah cantiknya mendadak memerah malu. Ketika memandang ke depan, dilihatnya wajah ganteng itu sedang menatap paras cantiknya dengan penuh pesona. Seulas senyum terlihat mengembang pada bibirnya, senyum kebahagiaan karena telah berhasil menaklukan Ibu dosennya yang cantik.
“Amboii!! Carissa bukan main cantiknya. Kamu tampak lebih indah dilihat dari dekat...,” ucap Bre sambil membungkukkan badan memberi hormat
Ibu Carissa tampak senang dengan pujian yang dilontarkan.
“Pinter banget kamu gombalnya. Eeh, manggilnya dah ga pake Ibu. Jangan kurang ajar yaa...,” sahut Ibu Carissa melotot lucu.
“Hahahaha!!” Bre tertawa geli melihat mimik wajah Ibu Carissa.
Tanpa mereka sadari hujan telah reda sedari tadi.
“Yaudah, pulang yuuk..”
Mereka pun keluar dari rumah kayu dengan wajah ceria. Rumah kayu yang menjadi saksi bisu penaklukan Ibu Carissa oleh sang Don Juan Kadal, Brian. Mereka berjalan bergandengan tangan dan mengayun-ayunkannya.
“Kenapa sih Ibu kok judes banget? Kayanya benci banget sama saya?” tanya Bre sambil memalingkan muka ke arah Ibu dosen yang cantik.
“Kesalahanmu sebesar gunung dan sedalam lautan....,” jawab Ibu Carissa dengan santai.
“Emang salah saya apa sih, Bu?” tanya Bre heran.
“Kamu inget ga pas pertama kali aku ngasih kuliah di kelas kamu?”
“Hmm, apa yaa? Ooh iyaa.. Ibu pake rok sejengkal di atas lutut, betis Ibu mulus banget.”
“Kurang ajar kamu! Jadi kamu melototin betisku, yaa?!” sahut Ibu Carissa seraya menonjok pundak pemuda gagah itu. “Waktu itu kamu tanya tentang teori Sigmund Freud yang mengatakan bahwa perilaku seks akan mempengaruhi tindakan seseorang...,” imbuh dosen muda itu.
“Lha, terus hubungannya apa dong?” Bre tampak bingung dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Karena kamu nyindir aku. Kamu tau kan kalo aku masih single dan belum punya pacar? Dan kamu sendiri aku perhatiin sering gonta-ganti pacar, makanya semenjak itu aku benci kamu..”
“Wah, diem-diem Ibu perhatian banget yaa sama saya, hehehe. Jadi ge-er neeh..”
Ibu Carissa Adel Gayatri merona merah tampak malu dengan kata-katanya sendiri.
“Sejujurnya cowok kaya kamu adalah dambaanku ketika waktu kuliah dulu. Namun sayangnya dia hadir di masa sekarang dan tak mungkin aku kembali ke masa lalu. Andai aja ada Batu Pemutar Waktu kaya cerita Wiro Sableng..”
“Hah!! Ibu juga suka cerita silat itu yaa?? Hahahaha!!” Bre merasa kaget, senang, dan terharu mendengar pengakuan sang Dosen kalau dirinya adalah cowok dambaan Ibu Carissa.
Mereka melewati sebuah bukit. Tiba-tiba pendengaran mereka berdua menangkap suara yang mencurigakan yang berasal dari semak-semak rumput gajah yang tinggi.
“Ssstt!! Ibu mendengar sesuatu??”
Ibu Carissa mengerutkan kening dan mencoba menajamkan pendengarannya.
“Iyaa Bre, ada suara-suara aneh gitu deeh..”
“Ayo kita cari, Bu...,” ajak Bre sambil menggandeng tangan Ibu Carissa dan berjalan ke arah semak-semak rumput gajah.
Ketika Bre menyibakkan semak-semak itu, Wattauw!!! Dilihatnya Andi sedang bermesraan dengan Karen, pacar Bre. Bre terbelalak, demikian juga dengan Ibu Carissa.
“Karen! Andi!” kata Bre dan Ibu Carissa bersamaan.
“Bre.. Ibu Carissa...,” kata Karen dan Andi bersamaan pula.
Mereka saling pandang dan terkejut. Bre langsung mengajak Ibu Carissa cabut dari tempat Karen dan Andi memadu kasih. Pengkhianatan telah terjadi. Andi menusuk Bre dari belakang.
“Bree!!! Tunggu!!” teriak Karen dan Andi bersamaan.

***

Bre telentang di atas kasur pondokannya. Dia mengambil ponsel, kemudian diotak-atik sebentar dan tak lama kemudian terdengarlah suara lagu Thrash Metal. Gebukan drum Igor Cavalera terdengar sadis, pun demikian dengan suara vokal berat dari vocalist yang juga adalah kakaknya sendiri yaitu Max Cavalera. Cabikan bass oleh Andreas Kisser ikut menyemarakkan lagu Beneith The Remains-nya Sepultura. Tak berapa lama terdengar ketukan pintu. Bre melirikkan matanya untuk melihat siapa yang datang.
“Bre.. Maa.. Maaf..,” kata Andi terbata dan langsung ikut rebah disisi Bre.
“Lu tau apa yang telah lu lakuin, Ndi? Hmm..?” tanya Bre dingin. “Lu nge-khianatin kepercayaan yang gue berikan,” imbuh Bre.
“Iii..iyaa Bre, gue tau. Maaf. Nggg.. Tapi boleh gue jujur ke elu?” tanya Andi dengan nada sedikit tercekat ditenggorokannya.
“Apa?”
“Guu.. Guee sebenernya, eng..su..suka sama Karen semenjak semester awal. Tapi ketika gue tau dia udah jadi milik lu, maka gue kubur dalem-dalem impian untuk jadi cowoknya. Soal kejadian tadi, oke gue ngaku salah banget sama lu. Terus terang, rasa yang udah gue kubur dalem-dalem tiba-tiba aja muncul semenjak lu bilang minta tolong gue untuk jagain Karen. Dan tadi gue terbawa suasana Bre. Maaf..” Andi terlihat menyesal dan bersikap gentle mengakui kesalahan juga mengungkapkan isi hatinya kepada Bre.
“Gue sebenernya kecewa sama lu. Kecewaaaa banget. Tapi gue salut, lu dengan gentle berani ngomong terus terang ke gue. Hmm.. Emang Karen cinta sama lu?” tanya Bre cool.
“Hmm.. Gimana yaah? Keliatannya sih gitu, Bre. Karen juga curhat tentang hubungan kalian. Maaf Bre, bukannya menghasut elu, tapi Karen juga ngomong kalo dia udah ga nyaman bareng lu. Benarkah?”
Apa gara-gara gue selalu menghindar kalo diajak ngebahas masalah married ya?
Suasana hening sesaat..
“Sepertinya gue harus rela ngelepas Karen. Gue ga mau kalo Karen ngelakuin hal kaya tadi dibelakang gue setelah married. Sulit memang tapi harus, karena hidup adalah pilihan dan life’s never flat. Gue rela Karen bersama Andi. Andi cowok yang gentleman. Ga adil rasanya kalo menghalangi cinta mereka berdua,” batin Bre
“Andi, lu sahabat baik gue. Kita selalu bersama dalam suka duka. Huuftt!! Ngg.. Kalo misal lu suka sama Karen dan sebaliknya, gue ikhlas kok. Karena jujur gue juga bimbang ketika Karen terus-terusan ngajakin gue married,” ujar Bre lirih.
“Ap.. Apaa?? Lu ga sedang ngigau kan??”
“Ga, Ndi. Gue ga ngigau! Gue ga mau ngehalang-halangin perasaan kalian berdua.”
“Aduuchh.. Ma.. Makasiih, Bre. Makasih banget atas kerelaan lu, atas pengorbanan lu buat gue,” kata Andi senang tapi seakan masih ga percaya Bre bilang seperti itu.
“Hehehee..gapapa Ndi...,” senyum Bre menghias wajahnya. Antara senang dan sedih harus berpisah dengan Karen.
“Andi.. Bre...,” ucap lirih Karen yang tiba-tiba muncul dikamar pondokan Bre.
Bre dan Andi terkejut melihat kehadiran Karen.
“Lu denger semua yang kita omongin, Karen??” tanya Bre datar.
“Iii.. Iyaa..,” jawab Karen sambil menundukkan kepala.
“Karen, kalo lu memang ingin bersama Andi, gue ikhlas kok. Gue ngerti lu pasti nganggep gue ga serius sama lu, gara-gara gue ga pernah mau bahas masalah married. Tapi gapapa. Gue akan bahagia kalo liat kalian bahagia,” bilang Bre gamblang.
“Haah?!! Luu..lu..serius Bre?” tanya Karen kaget mendengar penjelasan Bre.
“Bener, Karen. Gue serius! Gue ingin ngeliat lu lebih bahagia bersama Andi,” Jawab Bre sambil tersenyum.
“Bree! Makasihh..lu udah mau ngerelain gue. Lu juga udah berjiwa besar menghadapi kenyataan ini. Makasih Bre, makasih banget...,” ucap Karen berkaca-kaca sambil memberikan pelukan terakhirnya kepada Bre yang sekarang sudah berubah status menjadi sang Mantan.
“Iyaa Karen sama-sama. Maaf yaah, kalo selama ini gue sering berbuat salah dan selalu ngecewain elu.”
“Gue juga minta maaf, Bre. Selama ini gue juga banyak salah ke elu.”
“Iya deeh. Eeh, sekarang kan kalian udah resmi jadian, mana traktirannya neeh??” todong Bre seperti preman minta jatah.
“Hahaha!!! Beres dah Bre. Dikantin kampus yaa??” kata Andi dengan mesam-mesem.
“Wah ga bisa gitu dong, masak cuma di kantin doang siih?? Pokoknya KFC yaa?!”
“Yeee, itu namanya malak, tau ga sih lu!!” cibir Karen.
“Iyaa tuh kaya gerombolan preman tanah abang aja lu, Bre!” imbuh Andi membela pacarnya, Karen.
“Beuh!! Kok kompak amat sih kalian??”
“Yaa iyaa laah yaaw! Hahaha!!” kata Andi dengan mimik muka bahagia sambil merangkulkan tangan ke pundak Karen.
“Yaa udah kalo gitu McD, gimana??” tawar Bre.
“Yeee.. sama aja itu mah, gimana siih?”
“Hahahahahaha!!!!” tawa mereka bertiga kompak.

Terkadang ketika melihat orang lain bahagia dengan pasangannya, membuat kita iri. Bahkan, ada sebagian orang yang sampai gelap mata menginginkan pasangan bahagia itu harus terus-terusan berantem dan pada akhirnya putus. Sehingga sebagian orang yang gelap mata itu bisa memanfaatkannya. Gelap mata sudah pasti gelap juga mata hatinya. Hanya kebesaran jiwalah yang mampu mengenyahkan pola pikir jahat seperti itu.
Tag : Cinta, Fiksi, Novel
0 Komentar untuk "Juwita Hati: Penaklukan sang Don Juan Kadal"

Untuk diperhatikan!!!

1. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang menyisipkan link aktif
3. Komentar yang mengandung unsur kekerasan, porno, dan manyinggung SARA akan dihapus

Back To Top